“Aku datang - entah dari
mana,
aku ini - entah siapa,
aku pergi - entah kemana,
aku akan mati - entah
kapan,
aku heran bahwa aku
gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang
dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan
mulai menyadari keterbatasannya. Dalam
situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:
“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban
terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti
dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara
mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa
asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan
sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya
apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan
kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” -- Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan
II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman
yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa
mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi
langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak
yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan
jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau
mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau
mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah,
dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa
atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi
sekalian,
juga binatang-binatang di
padang;
burung-burung di udara dan
ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa
mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia
berfilsafat
Tetapi sudah
sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia
menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada
dibalik segala kenyataan (realitas) itu.
Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun
metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu
dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu
pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh
kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan
koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi
rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 -
873 M) : "Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang
merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin
bagi manusia ... Bagian filsafat yang
paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang
merupakan sebab dari segala kebenaran".
Unsur
"rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat
mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara
mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut "secara mendasar" karena
upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau
sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang
dipelajari ("obyek material"),
yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas --
pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper
(1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah
satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa
hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang
terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir,
maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan
hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari
hidup". Mengingat berfilsafat
adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think"
(Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976
), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" =
"to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang
Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga
untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah
"wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen"
(bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah
"viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta
"vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat
dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan.
Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea",
yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh
para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut
Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis
ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut
filsafat:
Aras abstraksi pertama
- fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita
“melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi
yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata,
ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual.
Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu
pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua -
matesis. Dalam
proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang
kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi
melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi
dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis =
pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga
- teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat
meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh
kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah
kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini
menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau
“filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah”
fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena
semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut
“sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang
batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis
dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan
iman. Secara sederhana, iman dapat
didefinisikan sebagai sikap manusia
dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber
segala kehidupan di alam semesta ini.
Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan
(misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya
dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal
ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan.
Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku
dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata
"sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok
orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara
bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2)
tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman
dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk
dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan.
Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah
wujud sosial dari iman.
Catatan.
(1)
Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis,
sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang
Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal
("'aql") dan kata ilmu ("'ilm") telah digunakan dalam teks
Al Qur'an. Kedekatan
kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat
dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf
Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan",
Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus
juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum
dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu"
dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya
agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan
"dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin
menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan
kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya.
Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan
kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia
atas "sapaan" Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia
berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin
mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada siapa aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan
agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur
"intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan
memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq,
yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
4. Obyek material dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi)
pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju
akhirat". Dalam gejala ini jelas
ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi),
filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi -
filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat
dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).
Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling
berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat
dilepaskan dari yang lain. Juga
pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal
manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas
obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan
bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien,
maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan
segala sesuatu yang tersirat ingin
dinyatakan secara tersurat. Dalam
proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap
pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi,
sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat
pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica.
Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala
itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali
"kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian"
(versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus
"subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari
mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan
menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan
menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat
ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala
ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang filsafat
5.1.
Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat
"filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang
akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ... Semua selalu dikembalikan ke empat bidang
induk:
1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan
("episteme") dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi
(keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum
(ontologi);
metafisika khusus:
antropologi
(tentang manusia);
kosmologi
(tentang alam semesta);
teodise
(tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2.
Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang
pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu
pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau
semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas
pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi.
Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan",
"berhubungan dengan bahasa".
Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu
dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati
supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang
satu berkait dengan ilmu lain. Disebut
pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik
ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode
dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.
5.3.
Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme,
fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebaginya.
5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis,
rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman
religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya
kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi
sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum;
kepadaNya manusia hanya beriman, yang
dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan
sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih
ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada filsafat
agama X; yang ada adalah filsafat dalam
agama X, yaitu pemikiran menuju
pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat
diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang
ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah
haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan
mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja
dari keseluruhannya. Karena iman adalah
suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam
hati siapa yang tahu". Tahukah
saudara akan kadar keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut
ditanyakan "dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah "hati" itu (misalnya dalam
kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan
organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang
diurus oleh para dokter di rumah sakit.
Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin",
"kalbu", "berhati-hatilah", "jantung hati",
"jatuh hati", "hati nurani", dan "suara hati".
3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk
menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu
kata. Manusia ditantang untuk berfikir
dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and
distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan
menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan
seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam
hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara
dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi rasional dan refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang
sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil
refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa
Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian
dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya
merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan
keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai
"bangsa terpilih", mereka
sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh
YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka.
Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu
Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi).
Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama
Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas
tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah
geografis yang sekarang disebut "negara Israel".
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi
tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan
penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai
senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi).
Sebaliknya, refleksi para bapa
bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5
kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang
oleh kalbu karena merupakan cetusan
penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan
sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu
sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama
dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah
manusia.
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh
Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi
refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi
lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering
filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan
Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang
terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk
jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua
India. Karya-karya sastra itu sering
diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena
diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk
menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita)
diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah
cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8
Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman
untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia
ini. Ramanuja (abad 12 Masehi)
melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati
melalui cinta. Pada masa perjuangan
kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk
ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran
terhadap penjajah yang tak adil. Bagi
Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan
Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui
"perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave,
Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih
sama. Tanpa interpretasi Tilak,
misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat
politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
Sesungguhnya, berefleksi
merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk
mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa
dan mandiri. Melalui refleksi pula,
manusia dan kelompok-kelompok manusia
(yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam
dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk
membuat sejarah bagi masa depan.
Catatan.
Adakah refleksi
tentang realitas yang khas Indonesia?
Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam
disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: "Manunggaling Kawula Gusti"
(1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT
Gramedia.
a. Filsafat dan
Ilmu Pengetahuan.
Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya.
Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
J. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin.
Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.
“Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua.
Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan.
Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang
berarti menjauhkan diri, mengambil dari).
Dari setiap jenis abstraksi itu menghasilkan satu jenis pengetahuan yaitu :
1) pengetahuan fisis
2) pengetahuan matematis,
3) pengetahuan teologis.
1) Pengetahuan Fisis
Dalam kenyataannya manusia mulai berpikir bila ia mengamati, mengobservasi sesuatu. Faktor keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan manusia barulah timbul setelah pengamatan atau observasi lebih dahulu. Peranan ratio atau akal budi manusia melepaskan (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi suatu segi-segi tertentu yaitu materi yang dapat dirasakan ratio atau akal budi manusia bersama dengan materi yang 'abstrak' itu menghasilkan pengetahuan yang disebut "fisika' (dari kataYunani 'Physos' = alam).
2) pengetahuan Matematis atau Matesis
Selanjutnya manusia masih mempunyai kemampuan untuk dapat mengabstrahir atau melepaskan lebih banyak lagi Bahwa kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan yang terjadi.
Hal ini dapat terjadi bila ratio atau akal budi manusia dapat melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti saja. Dengan kemampuan abstraksi ini manusia dapatlah menghitung dan mengukur, karena perbuatan menghitung. dan mengukur itu mungkin lebih dari semua gejala dan semua perubahan dengan menutup indera mata Adapun jenis pengetahuan yang dihasilkan oleh abstraksi ini disebut 'matesis' (matematika) (kata Yunani'mathesist = pengetahuan ilmu).
3) Pengetahuan Teologis atau Filsafat Pertama
Pada tahap terakhir manusia juga dapat mengabstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun yang dapat diketahui. Apabila manusia berpikir tentang keseluruhan realitas tentang sangkanparannya (asal mula dan tujuannya), tentang jiwa manusia, tentang cita dan citranya, tentang realitas yang paling luhur, tentang Tuhan, maka berarti tidak hanya terbatas pada bidang fisika saja tetapi juga bidang matematika yang sudah ditinggalkannya. Di sini terbukti bahwa semua jenis pengamatan tidak berguna. lagi Adapun jenis berpikir ini disebut 'teologi' atau filsafat pertama,
Sesuai dengan tradisi setelah Aristoteles pengetahuan jenis ketiga ini, disebut 'rnetafisika, bidang yang datang setelah (meta') fisika. Menurut Aristoteles baik bidang metafisika, bidang matematika maupun bidang fisika, masih merupakan kesatuan yang keseluruhannya disebut ’filsafat' atau metafisika.
2) Pikiran atau ratio manusia, melalui penalaran analitik dan non-analitik. Dalam pikiran manusia ini lahirlah pengetahuan yang pertama beberapa ribu tahun yang lalu yaitu filsafat. Dalam usaha menjawab tantangan hidup manusia maka fase berikutnya lahirlah Ilmu-ilmu Alam (Natural Philosophy) dan Ilmu-ilmu Sosial (Moral philosophy).
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian pula tentang baik buruk, semua itu (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral (filsafat Etika), tentang indah dan jelek (termasuk ilmu) semuanya berpaling kepada pengkajian filsafat Estetika.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta ”, demi kian kata tokoh Einstein. Kebutuaan moral dari ilmu itu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka.
Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama.
Filsafat ialah ’ ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai :
a. Hakikat Tuhan
b. Hakikat alam semesta, dan
c. Hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut.
Adapun titik perbedaanya adalah sebagai berikut :
a. Ilmu dan filsafat adalah hasil dari sumber yang sama yaitu : ra’yu (akal, budi, ratio, reason, nous, rede, ver nunft) manusia. Sedangkan agama bersumber dari Wahyu Allah.
b. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).
Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama.
Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya.
Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
J. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin.
Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.
“Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua.
Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan.
Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang
berarti menjauhkan diri, mengambil dari).
Dari setiap jenis abstraksi itu menghasilkan satu jenis pengetahuan yaitu :
1) pengetahuan fisis
2) pengetahuan matematis,
3) pengetahuan teologis.
1) Pengetahuan Fisis
Dalam kenyataannya manusia mulai berpikir bila ia mengamati, mengobservasi sesuatu. Faktor keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan manusia barulah timbul setelah pengamatan atau observasi lebih dahulu. Peranan ratio atau akal budi manusia melepaskan (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi suatu segi-segi tertentu yaitu materi yang dapat dirasakan ratio atau akal budi manusia bersama dengan materi yang 'abstrak' itu menghasilkan pengetahuan yang disebut "fisika' (dari kataYunani 'Physos' = alam).
2) pengetahuan Matematis atau Matesis
Selanjutnya manusia masih mempunyai kemampuan untuk dapat mengabstrahir atau melepaskan lebih banyak lagi Bahwa kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan yang terjadi.
Hal ini dapat terjadi bila ratio atau akal budi manusia dapat melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti saja. Dengan kemampuan abstraksi ini manusia dapatlah menghitung dan mengukur, karena perbuatan menghitung. dan mengukur itu mungkin lebih dari semua gejala dan semua perubahan dengan menutup indera mata Adapun jenis pengetahuan yang dihasilkan oleh abstraksi ini disebut 'matesis' (matematika) (kata Yunani'mathesist = pengetahuan ilmu).
3) Pengetahuan Teologis atau Filsafat Pertama
Pada tahap terakhir manusia juga dapat mengabstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun yang dapat diketahui. Apabila manusia berpikir tentang keseluruhan realitas tentang sangkanparannya (asal mula dan tujuannya), tentang jiwa manusia, tentang cita dan citranya, tentang realitas yang paling luhur, tentang Tuhan, maka berarti tidak hanya terbatas pada bidang fisika saja tetapi juga bidang matematika yang sudah ditinggalkannya. Di sini terbukti bahwa semua jenis pengamatan tidak berguna. lagi Adapun jenis berpikir ini disebut 'teologi' atau filsafat pertama,
Sesuai dengan tradisi setelah Aristoteles pengetahuan jenis ketiga ini, disebut 'rnetafisika, bidang yang datang setelah (meta') fisika. Menurut Aristoteles baik bidang metafisika, bidang matematika maupun bidang fisika, masih merupakan kesatuan yang keseluruhannya disebut ’filsafat' atau metafisika.
2) Pikiran atau ratio manusia, melalui penalaran analitik dan non-analitik. Dalam pikiran manusia ini lahirlah pengetahuan yang pertama beberapa ribu tahun yang lalu yaitu filsafat. Dalam usaha menjawab tantangan hidup manusia maka fase berikutnya lahirlah Ilmu-ilmu Alam (Natural Philosophy) dan Ilmu-ilmu Sosial (Moral philosophy).
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian pula tentang baik buruk, semua itu (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral (filsafat Etika), tentang indah dan jelek (termasuk ilmu) semuanya berpaling kepada pengkajian filsafat Estetika.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta ”, demi kian kata tokoh Einstein. Kebutuaan moral dari ilmu itu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka.
Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama.
Filsafat ialah ’ ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai :
a. Hakikat Tuhan
b. Hakikat alam semesta, dan
c. Hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut.
Adapun titik perbedaanya adalah sebagai berikut :
a. Ilmu dan filsafat adalah hasil dari sumber yang sama yaitu : ra’yu (akal, budi, ratio, reason, nous, rede, ver nunft) manusia. Sedangkan agama bersumber dari Wahyu Allah.
b. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).
Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama.
No Response to "ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI"
Posting Komentar