Tugas Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“PSIKOLOGI KONSELING”
Oleh : Abdullah Mahdi
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kita diperhadapkan dengan berbagai krisis kehidupan. Beban yang harus dipikul oleh sementara orang terasa begitu berat sebagai akibat dari persoalan yang datang silih berganti seakan-akan tiada akhirnya. Peristiwa-peristiwa seperti: bencana alam, krisis ekonomi berkepanjangan, ketiadaan lapangan pekerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK), persoalan rumah tangga serta seabrek persoalan kehidupan lainnya merupakan realitas yang tidak bisa disangkal. Situasi demikian diperburuk oleh melambungnya harga barang dan jasa, sementara rendahnya daya beli maupun merosotnya nilai mata uang kita semakin menambah berat beban hidup masyarakat kelas bawah. Belum lagi masalah pemukiman dan kebutuhan primer masyarakat miskin di kota-kota besar yang acapkali datang bersamaan. Bayangkan saja, jika sebuah keluarga miskin yang bermukim di kota besar suatu ketika harus menghadapi kenyataan masa kontrak rumahnya berakhir atau digusur; pada saat bersamaan ia sedang menganggur, anggota keluarganya ada yang sakit sedangkan kebutuhan makan-minum pun tidak ada lagi.
Realitas kehidupan seperti ini menyebabkan banyak orang yang mengalaminya mengambil jalan pintas, menghalalkan segala cara, masa bodoh dan apatis, pesimis menghadapi hari esok. Bermacam-macam perilaku yang tidak bertanggungjawab disertai tindak kriminalitas merupakan hal yang mudah terjadi dalam masyarakat. Tak jarang pula ada yang harus mengalami gangguan emosional seperti, putus asa, stress. depresi, bunuh diri untuk mengakhiri kekalutan hidupnya. Oleh karena itu sikap dari konselor adalah membimbing klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Terapi realitas disini secara garis besar menjelaskan bahwa suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Inti dari terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab yang dipersamakan dengan kesehatan mental, lebih lengkapnya akan di bahas pada pembahasan kali ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud teori realitas?
2. Bagaimana hubungan antara teori ralitas dengan psikologi konseling?
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian Teori Realitas
Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan” dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga dan perkembangan masyarakat. Terapi realitas meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah dasar dan menengah, dan para pekerja rehabilitasi.[1]
Sedangkan menurut Paul D. Meier, dkk., terapi realitas yang diperkenalkan oleh William Glasser memusatkan perhatiannya terhadap kelakuan yang bertanggung jawab, dengan memperhatikan tiga hal (3-R): realitas (reality), melakukan hal yang baik (do right), dan tanggungjawab (responsiblility).
Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri. Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru. Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya.
Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Realitas
- Pendapat tradisional yang beranggapan bahwa seseorang berperilaku tidak bertanggungjawab disebabkan oleh gangguan mental ditolak oleh Glasser. Justru ia berpendapat bahwa orang mengalami gangguan mental karena ia berperilaku tidak bertanggungjawab. Terapi realitas menekankan pada masalah moral antara benar dan salah yang harus diperhadapkan kepada konseli sebagai kenyataan atau realitas. Terapi realitas menekankan pertimbangan menyangkut nilai-nilai. Ia menekankan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
- Pengalaman masa lalu diabaikan karena terapi realitas mengarahkan pandangan penilaiannya pada bagaimana perilaku saat ini dapat memenuhi kebutuhan konseli. Dengan kata lain terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang. Meskipun tidak menganggap perasaan dan sikap tidak penting, tetapi terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Terapi realitas adalah proses pengajaran (teaching process) dan bukan proses penyembuhan (healing process). Itu sebabnya terapi realitas sering menggunakan pula pendekatan kognitif dengan maksud agar konseli dapat menyesuaikan diri terhadap realitas yang dihadapinya.
- Faktor alam bawah sadar sebagaimana ditekankan pada psiko-analisis Freud tidak diperhatikan karena Glasser lebih mementingkan “apa” daripada “mengapa”-nya.
- Terapi realitas menolong individu untuk memahami, mendefinisikan, dan mengklarifikasi tujuan hidupnya.
- Terapi realitas menolak alasan tertentu atas perbuatan yang dilakukan. Misalnya, orang yang mencuri tidak boleh beralasan bahwa ia terpaksa atau kepepet, dsb.
- Terapi realitas transferensi yang dianut konsep tradisional sebab transferensi dipandang suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi.. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.[2]
II. Hubungan Teori Realitas Dengan Psikologi Konseling
A. Teori Kepribadian
Glasser berpandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Perilaku manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan ahli lain, sedangkan kebutuhan psikologis manusia menurut Glasser yang mendasar pada dua macam yaitu: (1) kebutuhan dicintai dan mencintai dan (2) kebutuhan akan penghargaan (George dan Cristiani, 1990). Kedua kebutuha psikologis tersebut dapat digabung menjadi satu kebutuhan yang s,angat utama yang disebut kebutuhan identitas.
Identitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Anak yang berhasil menemukan kebutuhannya, ytaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan pengthargaan akan mengambangkan diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk identitasnya dengan identitas keberhasilan, sebaliknya jika anak gagal menemukan kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity).
Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya dapat mencari jalan lain, misalnya dengan menarik diri atau bertindak delinkuensi. Menurut Glasser individu yang membangun identitas keggalan tersebut pada dasarnya orang yang tidak bertanggung jawab karena mereka menolak realitas sosial, moral, dunia sekitarnya. Namun demikian identitas kegagalan pada anak ini dapat diubah menjadi identitas keberhasilan asalkan anak dapat menemukan kebutuihan dasarnya.
Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya dapat mencari jalan lain, misalnya dengan menarik diri atau bertindak delinkuensi. Menurut Glasser individu yang membangun identitas keggalan tersebut pada dasarnya orang yang tidak bertanggung jawab karena mereka menolak realitas sosial, moral, dunia sekitarnya. Namun demikian identitas kegagalan pada anak ini dapat diubah menjadi identitas keberhasilan asalkan anak dapat menemukan kebutuihan dasarnya.
Orang yang menemukan gangguan mental menurut kalangan profesional sebenarnya adalah orang yang menolak realitas menurut pandangan Glasser. Penolakan individu terhadap realitas dunia sekitarnya (norma, hukum, sosial dan sebagainya) dapat sebagian saja tetapi dapat pula keseluruhan. Ada dua cra penolakan terhadap realitas itu, (1) mereka mengubah dunia nyata dalam dunia pikirnya agar mereka merasa cocok atau (2) secara sederhana mengabaikan realitas dengan menentang atau menolak hukum yang ada.
Untuk mengenbangkan identitas .keberhasilan, individu harus mempunyai kebutuhan dasar yang dijumpai; (1) mengetahiu bahwa setidaknya seseorang mencintainya dan dia dicintai setidaknya seseorang (2) memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain sebagai cara simultan berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna. Kedua kebutuhan itu (cinta dan berguna) ada pada individu bukan salah satunya.
Orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan identitas individu. Tentunya pihak lain juga sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan identitas ini, diantaranya kelompok sebaya, sekolah, aspek-aspek budaya dan lingkungan sosial lainnya dan setiap saat berinteraksi dan membentuk struktur kognitif anak (Calvin, 1980). Sikap cinta dan penghargaan merupakan satu hal yang integral, satu sama lain terkait. Anak yang memperoleh cinta tetapi tidak mendapatkan penghargaan akan menimbulkan ketergantungan yang lain untuk memperoleh pengesahan.
Pemenuhan kebutuhan atas penghargaan dan cinta itu tidak hanya terjadi pada hubungan orangt tua dan anak saja dapat pula dipenuhi dalam hubunngan yang lain, seperti hubungan guru dan siswa, hubungan dengan teman-temannya Dsb. Semua itu berakibat kumulatif kepada anak, yaitu membentuk identitasnya dengan identitas keberhasilan atau kegagalan.
Konseling realitas sebagian besar memandang individu pada perilakunya, tetapi berbeda dengan behavioral yang melihat perilaku dalam kontex hubungan stimulus respon dan beda pula dengan pandangan konseling berpusat pada person yang melihat perilaku dalam konteks fenomenologis. Perilaku dalam pandangan konseling realitas adalah perilaku dengan stadar yang objektif yang dikatakan denga ”reality”.
B. Perilaku Bermasalah
B. Perilaku Bermasalah
Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas yidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.[3]
C. Ciri-Ciri Terapi Realitas
C. Ciri-Ciri Terapi Realitas
Sekurang-kurangnya ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut.
1. Terapi Realitas Menolak Konsep Tetang Penyakit Mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis.
2. Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah- laku sekarang.
3. Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan dating.
4. Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yan g membantu kegagalan yang dialaminya.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang trasferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Glasser (1965) menyatakan bahwa para klien tidak mencari suatu pengulangan keterlibatan dimasa lampau yang tidak berhasil, tetapi mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan dengan orang lain dalam keberadaan mereka sekarang.
6. Terapi realitas menekankan asapek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Terapi realitas menandaskan bahwa menekankan ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah yang menyangkut ketidak bertanggung jawabana klien dan memaafkan klien atas tindakannya menghindari kenyataan.
7. Terapi realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapeutik.
8. Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser (1965, hlm. 13) mendefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.
Glasser (1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti dalam terapi realitas.[4]
Glasser (1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti dalam terapi realitas.[4]
C. Hakikat Manusia
D. Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasrkan koseling realitas ini berdasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut;
Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kebutuhan dasarnya baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan dasar ini berlaku sama untuk semua orang. Kebutuhan dasar seseorang adalah (a). Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, (b). Kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
Jika individu frustasi karena gagal memperoleh kepuasan atau tidakY terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dia akan mengembangkan identitas kegagalan.
Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah identitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan.
Jika individu frustasi karena gagal memperoleh kepuasan atau tidakY terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dia akan mengembangkan identitas kegagalan.
Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah identitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan.
Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia.
Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting untuk menentukan apakah dirinya termasuk memiliki identitas keberhasilan atau identitas kegagalan.
E. Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling reality therapy sama dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success identity. Untuk itu dia harus bertanggung jawab, yaitu memiliki kemampuan mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personalnya.
Reality therapy adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan tentang adanya satu kebutuhan psikologis pada seluruh kebutuhannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik terpisah dan berbeda dengan orang lain. Kebutuhan akan identitas diri merupakan pendorong dinamika perilaku yang berada di tengah-tengah berbagai budaya universal.
Kualitas pribadi sebagai tujuan konseling realitas adalah individu yang memahami dunia riilnya dan harus memenuhi kebutuhannya dalam kerangka kerja. Meskipun memandang dunia realitas antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat berbeda tapi realitas itu dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain. Oleh karena itu, konselor bertugas membantu klien bagaimana menemukan kebutuhannya dengan 3R yaitu right, responsibility dan reality, sebagai jalannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, karakteristik konselor realitas adalah sebagai berikut:
1.) konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab, yang dapat memenuhi kebutuhannya.
2.) Konselor harus kuat, yakin, tidak pernah ”bijaksana”, dia harus mampu menahan tekanan dari permintaan klien untuk simpati atau membenarkan perilakunya, tidak pernah menerima alasan-alasan dari perilaku irrasional klien.
3.) konselor harus hangat, sensitif terhadap kemampuan untuk memahami perilaku orang lain
4.) konselor harus dapat bertukar fikiran dengan klien tentang perjuangannya dapat melihat bahwa seluruh individu dapat melakukan secara bertangung jawab termasuk pada saat-saat yang sulit.
Konseling realitas pada dasarnya adalah proses rasional, hubungan konseling harus tetap hangat, memahami lingkungan. Konselor perlu meyakinkan klien bahwa kebahagiaannya bukan terletak pada proses konseling tetapi pada perilakunya dan keputusannya, dan klien adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
F. Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapi
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedu-prosedurnya difokuskan pada kekutan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien
1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien
2. Menggunakan humor
3. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun
4. Membantu klien dengan merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan
5. Bertindak sebagai model dan guru
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
7. Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis
8. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif
Terapi realitas tidak memasukkan sejumlah teknik yang secara umum diterima oleh pendekatan-pendektan terapi lain. Para psikiater yang mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan obat-obatan dan medikasi-medikasi konservatif, sebab medikasi cenderung menyingkirkan tanggung jawab pribadi. Selain itu, para pempraktek terapi realitas tidak menghabiskan waktunya untuk bertindak sebagai “Detektif” mencari alasan-alasan, terapi berusaha membangun kerjasama dengan para klien untuk membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuanya.
Tehnik-tehnik diagnostik tidak menjadi bagian terapi realitas sebab diagnostic dianggap membuang waktu dan lebih buruk lagi, dengan menyematkan label pada klien yang cenderung mengekalkan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan gagal. Tehnik-tehnik lain yang tidak digunakan adalah penafsiran, pemahaman, wawancara-wawancara nondirektif, sikap diam yang berkepanjangan, asosiasi bebas, analisis transferensi dan resistensi, dan analisis mimpi.
G. Prosedur Konseling
Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu terdapat proseduru yang harus diperhatikan oleh konselor realitas. Prosedur tersebut terdapat delapan diantaranya:
a) Berfokus pada personal
Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada klien. Perhatian itu ditandain oleh hubungan hangat dan pemahamnnya ini merupakan kunci keberhasilan konseling.
b) Berfokus pada perilaku
Konseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada peraaan dan sikap. Konselor dapat meminta klien untuk ”melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan bukan meminta klien ”merasa yang lebih baik”.
c) Berfokus pada saat ini
Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lalu klien. Konselor tidak perlu melakukan explorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya.
d) Pertimbangan nilai
Konseling realitas menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai, penilaian perilakunya oleh diri klien akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif atau mencapai identitas keberhasilan.
e) Pentingnya pernyataan
Kesadaran klien tentang perilakunya yang tidak bertannggung jawab harus dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi perilaku yang bretanggung jawab. Untuk mencapai hal ini konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
f) Komitmen
Perencanaan saja tidak cukup. Konselor terus meyakinkan klien bahwa kepuasaan atau kebahagiaanya sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.
Perencanaan saja tidak cukup. Konselor terus meyakinkan klien bahwa kepuasaan atau kebahagiaanya sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.
g) Tidak menerima dalih
Adakalanya renacana yang telah disusun dan telah ada komitmen klien untuk melaksanakan, tetapi tidak dapat dilaksanakan atau mengalami kegagalan. Pada saat itu konselor perlu membantu rencana dan mebuta komitmen baru Untuk melaksanakan upaya lebih lanjut.
h) Menghilangkan hukuman
Hukuman harus ditiadakan. Konseling realitas tidak memperlakuakn hukuman sebagai tekhnik perubahan perilaku.[5]
H. Proses konseling
Salah satu fungsi utama dalam konseling adalah menolong klien mengubah keterampilan dalam menilai potensi-potensinya, aspirasi-aspirasinya, dan self-concept-nya yang sering keliru dengan pertolongan konselor. Williamson (1958) mengatakan bahwa wawancara konseling merupakan suatu latihan intelektual dalam pemecahan masalah-masalahnya sendiri menurut pemikiran yang sehat. Klien perlu belajar menggali dan memahami hal-hal yang bersangkutan dengan norma-norma kesusilaannya serta pegangan-pegangan nilai lainnya agar dapat mempertanggung jawabkan semua tindakannya.
Bila ada unsur-unsur afektif, perlu juga ditanggulangi tetapi ini bukan tujuan akhir konselor. Konseling dapat diperluas dengan mennggunakan pendekatan pemecahan masalah yang rasional mengenai masalah-masalah yang khusus yang sedang dihadapi oleh klien. Williamson dan Darley, telah menyusun 6 langkah untuk proses clinical counseiling, yaitu diantaranya: 1) analisis, 2) sintesis, 3) diagnosis, 4) prognisis, 5) treatment, dan 6) follow up.
William Glasser adalah psikiater yang mengembangkan konseling realitas (Reality Therapy) pada 1950-an. Pengembangan konseling realitas ini karena Glasser merasa tidak puas dengan praktek psikiatri yang ada dan dia mempertanyakan dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi pada Freudian, karena hasilnya terasa tidak memuaskan (Colvin, 1980).
Setelah beberapa waktu melakukan praktik pribadi dibidang klinis, Glasser mendapatkan kepercayaan dari California Youth Authority sebagai kepala psikiater di Ventura school for girl. Mulai saat itulah Glesser melakukan experimen tentang prinsip dan tekhnik reality therapy.
I. Peranan Konselor
Konsseling realitas didasarkan pada antisipasi bahwa klien menganggap sebagai orang yang bertanggung jawab kepada kebaikannya sendiri. Konselor dapat memberikan dorongan, dengan memuji klien ketika melakukan tindakan secara bertanggung jawab dan menunjukan penolakannya jika klien tidak melakukannya.
Pendekatan reality therapy adalah aktif, membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan jika kontrak terpenuhi maka proses konseling dapat diakhiri. Pendekatannya dapat menggunakan ”mendorong” atau ”menantang”. Jadi pertanyaan ”What” dan ”How” yang digunakan, sedangkan ”Why” tidak digunakan. Hal ini sangat penting untuk membuat rencana teru sehingga klien dapat memperbaiki perilakunya.
Terdat beberapa cara terapi realitas yang digunakan dalam menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan.
Terdat beberapa cara terapi realitas yang digunakan dalam menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan.
Pertama, keputusan pribadi tiap pemimpin pemerintahan Indonesia untuk menerapkan standar-standar kebaikan (patokan nilai-nilai) yang tinggi demi perawatan dan penumbuhkembangan keberhargaan diri (self-worth) yang bermakna. Standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna niscaya menjadi komponen hakiki kepribadian setiap pemimpin pemerintahan Indonesia.
Kedua, keterlibatan mendalam (deep involvement) tiap pemimpin pemerintahan dengan kehidupan nyata seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan ini niscaya demi pemahaman realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa pemahaman utuh realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia, pemimpin pemerintahan tidak pernah bisa mengejawantahkan perbuatan dan perilaku kepemimpinan yang realistik dan bertanggung jawab. Seandainya para pemimpin masa kini hidup di tengah keterlibatan mendalam dengan kehidupan rakyat Indonesia, dapat dibayangkan para pemimpin pemerintahan tidak akan menelorkan kebijakan menaikkan harga BBM saat kehidupan rakyat masih sulit dan anggota DPR tidak akan meminta tambahan honor.
Kedua, keterlibatan mendalam (deep involvement) tiap pemimpin pemerintahan dengan kehidupan nyata seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan ini niscaya demi pemahaman realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa pemahaman utuh realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia, pemimpin pemerintahan tidak pernah bisa mengejawantahkan perbuatan dan perilaku kepemimpinan yang realistik dan bertanggung jawab. Seandainya para pemimpin masa kini hidup di tengah keterlibatan mendalam dengan kehidupan rakyat Indonesia, dapat dibayangkan para pemimpin pemerintahan tidak akan menelorkan kebijakan menaikkan harga BBM saat kehidupan rakyat masih sulit dan anggota DPR tidak akan meminta tambahan honor.
Ketiga, disiplin, yang makna sejatinya adalah keberanian, kerelaan, dan kesudian manusia menerima realitas yang bersifat tidak menyenangkan, asalkan realitas yang tidak menyenangkan itu terjadi karena dirinya mempertahankan standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna. Berbekal disiplin dalam makna itu, para pemimpin pemerintahan tidak akan menghalalkan segala cara dalam upaya mewujudkan aneka keinginan atau sejumlah kebutuhan.[6]
No Response to "TEORI REALITAS"
Posting Komentar