Pergerakan Mahasiswa Dalam Pendidikan Kritis
PMII harus memiliki tanggung jawab representative sosial kemasyarakatan yang majemuk, dan dituntut untuk menjadi “agent of transformation” melalui dinamika pergerakan yang konstruktif dan menghindari pergerakan sporadis dengan landasan strategis menuju suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam bingkai kemanusiaan (humanist).
Berawal dari tanggung jawab inilah peran mahasiswa sangat dominan sebagai tokoh sentral episode reformasi yang terjadi pada bulan mei 1998 yang lalu. Gerakan mahasiswa yang bersumbu pada sikap kritis akan ketimpangan sosial pada waktu itu, seakan-akan menjadi peletup untuk bangun dari tidur panjang. Sebuah gerakan nurani untuk membela masyarakat yang termarginalkan dan juga gerakan moral untuk menjadikan bangsa dan Negara yang demokratis, dan PMII menjadi bagian dari episode tersebut.
Kemudian yang menarik untuk dikaji adalah sejauh mana peranan pendidikan kritis tersebut bisa dijadikan legitimasi akan arah gerak PMII. Sebab bagaimanapun juga aspek pendidikan cenderung akan membentuk idiologi yang beragam pada masyarakat, khususnya mahasiswa.
Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan, pendidikan kritis berkembang pesat mulai dekade 70-an, namun demikian pada dekade 20-an telah lahir konsep pendidikan kritis yang berupa pemikiran-pemikiran pendidikan progresif dari George S. Counts. Beliau mengemukakan tiga masalah vital pada masa itu, dan kemudian dari masalah-masalah tersebut lahirlah yang dinamakan pendidikan kritis. Tiga masalah tersebut yaitu mengkritik prinsip pendidikan konservatif, memberikan ruang besar terhadap peranan guru untuk menjadikan pendidikan sebagai agen dari perubahan sosial, dan penataan ekonomi sebagai salah satu syarat untuk perbaikan pendidikan (H.A.R. Tilaar, 2003:44).
Pendidikan kritis dalam pengimplementasiannya tidak akan lepas dari konsep paradigma kritis, dimana paradigma kritis merupakan salah satu aliran pendekatan pendidikan yang telah dipetakan oleh Girouk dan Aronowitz (1985). Menurut mereka dalam dunia pendidikan ada tiga aliran pendidikan yang menjadi landasan fundamental dan mempunyai karakteristik berbeda satu sama lainnya. Aliran tersebut yaitu pendidikan yang berparadigma konservatif, liberal dan kritis.
Perbedaan yang paling mendasar dari ketiga paradigma pendidikan tersebut, yaitu dalam konteks pengkritisan akan sebuah system. Jika dalam peradigma konservatif pendidikan bertujuan untuk melanggengkan dan menjaga status quo, sementara paradigma liberal mengedepankan perubahan yang moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi kerakyatan.
Perbedaan yang paling mendasar dari ketiga paradigma pendidikan tersebut, yaitu dalam konteks pengkritisan akan sebuah system. Jika dalam peradigma konservatif pendidikan bertujuan untuk melanggengkan dan menjaga status quo, sementara paradigma liberal mengedepankan perubahan yang moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi kerakyatan.
Dalam prespektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap idiologi dan system yang ada ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar mampu bersikap kritis terhadap system dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju system yang lebih baik. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil (Mansour Fakih, 2001:20).
Maka dari itu peran PMII sebagai penggerak arah transformasi ke tatanan yang lebih “beradaab”, hendaknya dibarengi dengan nilai-nilai paradigma kritis tersebut. Karena bagaimanapun juga image mahasiswa sebagai insan terdidik dan mempunyai daya nalar intelektual yang lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya dapat merespons secara aktif melalui interopeksi akan realitas dan pengalaman, juga dengan rasa tanggung jawabnya akan mampu untuk mengadvokasi masyarakat dengan cara dialogis, bukannya monologis.
Disamping paradigma kritis, pergerakan mahasiswa juga tidak akan lepas dari partisispasi rakyat akan arah demokrasi, dimana menurut Mansour Fakih dalam dewasa ini telah terjadi depolitisasi dan penjinakan terhadap konsep partisipasi. Akibatnya, kata partisispasi tidak bermakna bagi rakyat untuk memperjuangkan nasib mereka. Dalam hal ini, menurut beliau partisispasi yang tepat adalah partisispasi transformatif, yaitu partisispasi yang bermakna memberikan ruang kepada rakyat untuk menjadi subjek terhadap proses perubahan sosial, pengambilan keputusan, dan aksi melawan ketidakadilan untuk transformasi sosial mereka sendiri ( Dadang Juliantara, 1998:12)
Selain pemahaman akan paradigma dan partisispasi yang telah dipaparkan diatas, pergerakan mahasiswa dalam pendidikan kritis juga tidak terlepas dari prinsip-prinsip pengembangan opini publik, dalam hal ini diantaranya yaitu kritis objectif, independent, berpihak pada rakyat, dialogis humanis dan tepat momentum.
Dalam pemahaman pendidikan kritis, PMII sebagai elemen intelektual akademik yang diharapkan terus menerus memelihara idealismenya, akan membaca melalui sisi kekritisannya yang terus dipelihara dengan kemampuan-kemampuannya menganalisis masalah-masalah sosial secara objectif.
Pendidikan kritis dalam PMII tidak harus dipahami sebagai bentuk radikalisme akan sebuah perubahan tatanan social, ekonomi, politik dan budaya. PMII dalam perananya sebagai bagian dari oposisi moral tidak akan bisa begitu saja merubah system dan struktur yang tidak adil, karena kekuatan moral harus dibarengi dengan kekuatan dalam “akar praksis”. Maka diperlukan adanya kerjasama yang serius dan sinergis dari seluruh komponen masyarakat, melalui alur “chek and balanc”.
Pendidikan kritis dalam PMII tidak harus dipahami sebagai bentuk radikalisme akan sebuah perubahan tatanan social, ekonomi, politik dan budaya. PMII dalam perananya sebagai bagian dari oposisi moral tidak akan bisa begitu saja merubah system dan struktur yang tidak adil, karena kekuatan moral harus dibarengi dengan kekuatan dalam “akar praksis”. Maka diperlukan adanya kerjasama yang serius dan sinergis dari seluruh komponen masyarakat, melalui alur “chek and balanc”.
Dari analis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa PMII dalam melakukan pentransformasian sosial bermuara dari implementasi pendidikan kritis, yang tidak lain bertujuan untuk menciptakan tatanan hidup masyarakat yang demokratis, humanis dan terbebaskan.
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, penulis menganalogikan peranan mahasiswa sebagai seorang anak yang menggelitik bapaknya, jangan sampai sang bapak tertidur pulas dan lengah ketika mengendari mobil bermerk “Negara”. Dan semuanya harus yakin jika anak tersebut tidak bermaksud menyakiti dan mencelakai bapaknya. Namun sebaliknya, perbuatan anak tersebut dikarenakan cintanya kepada sang papak. Agar jangan sampai bapak yang dikasihaninya tersebut mati “demokrasi” karena kelengahannya…
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII Dalam Lintasan Sejarah
Panggung pergerakan merupakan medan utama mahasiswa dalam menancapkan api perjuangan di Nusantara. Sejak dirangkai oleh visi kemerdekaan, dunia pemuda dan mahasiswa tidak hanya jadi penonton “hitam putihnya Indonesia” yang baru lepas dari belenggu kolonialisme. Hasrat yang kuat untuk membangun bangsa yang berkeadilan tanpa diskriminasi dan berperadaban adalah isu utama kebangsaan yang diusung oleh mahasiswa. Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa awal yang dipelopori oleh sekelompok mahasiswa STOVIA yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok Budi Utomo ( 20 Mei 1908 ) mampu memelopori perlawanan terhadap kungkungan kolonialisme terhadap bangsa. Mahasiswa pada saat itu mampu mengejawantahkan dirinya sebagai agent of change yang terus bergeliat mencari makna ke arah perubahan yang lebih baik.
Pada dekade 1920-an, terdapat fenomena gerakan baru yang dilakukan oleh serombongan mahasiswa Indonesia. Gerakan mahasiswa pada masa ini terkonsentrasi pada wilayah pembentukan dan pengembangan kelompok-kelompok studi. Format baru tersebut menjadi orientasi gerakan kala itu, karena banyak pemuda dan mahasiswa yang kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia. Melalui kelompok studi, pergaulan di antara para mahasiswa pun tidak dibatasi oleh sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa. Selanjutnya, sebagai reaksi atas aneka-ragam kecenderungan permusuhan atau perpecahan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana ketika itu, di samping organisasi politik, juga memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Maka semangat perjuangan pemuda-pemuda Indonesia tersebut harus tercetuskan dalam satu tekad tanpa sekat.
Akhirnya, pada 27-28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres Pemuda II, yang menghasilkan rumusan-rumusan baru untuk menyikapi kondisi bangsa. Sumpah setia hasil Kongres Pemuda II tersebut, dibacakan pada 28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda inilah, muncul generasi baru pemuda Indonesia, angkatan 1928. Sumpah Pemuda sebagai alat pemersatu semangat kebangsaan mampu mempersatukan tekad para pemuda untuk bersama dan bersatu dalam semangat persatuan Indonesia. Era 1940-an, para pemuda dan mahasiswa tidak hanya diam terpaku melihat kondisi realitas bangsa yang carut marut tanpa kepastian. Pada tahun 1945, pemuda dan mahasiswa mencoba untuk menyatukan persepsi dan segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Melalui kalangan tua, Soekarno dan Hatta, yang didesak beberapa tokoh muda untuk segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia, akhirnya mengabulkan keinginan para pemuda. Dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada momentum inilah, fungsi gerakan pemuda Indonesia benar-benar menunjukkan partisipasi yang sangat berarti. Indonesia merdeka yang menjadi impian bangsa Indonesia kini telah terwujud. Tidak berhenti sampai disini. Paska kemerdekaan Indonesia, pemuda dan mahasiswa terus bergerak untuk berbenah, menyikapi kondisi bangsanya melalui sistim kepartaian yang ada. Seiring dengan suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer, yang lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik dan saling bertarung berebut kekuasaan, maka pada saat yang sama, mahasiswa lebih melihat diri mereka sebagai The Future Man; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Bersamaan dengan diberikannya ruang dalam sistem politik bagi para aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional. Maka pada masa ini banyak organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi dengan partai politik. Hingga berujung pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan keinginan pemerintahan Soekarno untuk mereduksi partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata. Dibuktikan dengan terbentuk dan tergabungnya organisasi mahasiswa (termasuk PMII, GMKI, HMI, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal -SOMAL-, Mahasiswa Pancasila -Mapancas-, dan Ikatan Pers Mahasiswa -IPMI-) dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melakukan perlawanan terhadap paham komunis, memudahkan koordinasi dan memiliki kepemimpinan. Karena sikap pemerintah yang otoriter, serta terjadinya pemberontakan 30 September 1965, menyebabkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan. Berakhirnya rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno tersebut, memulai babak baru perjalanan bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan Soeharto, yang kemudian dikenal dengan rezim Orde Baru.
Pada era 1970-an (era rezim Orde Baru), pemuda dan mahasiswa Indonesia mengalami distorsi gerakan. Sikap konfrontasi mahasiswa terhadap pemerintahan yang korup, berujung pada permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi pemerintahan Orde Baru, yang mencoba mempertahankan status quo.
Selanjutnya, melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, gerakan mahasiswa benar-benar tereduksi oleh sikap otoritarianisme penguasa. Akibatnya mahasiswa hanya disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus, di samping kuliah sebagai rutinitas akademik serta dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, dis natalis, acara penerimaan mahasiswa baru dan wisuda sarjana. Dengan semakin termarjinalnya gerakan mahasiswa dalam pentas kontrol sosial-politik Indonesia, akhirnya pada era berikutnya, gerakan mahasiswa mengalami power disaccumulation, yang kemudian melahirkan angkatan baru, yaitu angkatan 1990-an. Adalah satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah kehancuran politik mahasiswa, yang disebabkan oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus.
Namun gerakan tersebut perlahan mulai kembali menggelinding bersamaan dengan isu SDSB. Bahkan dalam perkembangannya, keberhasilan gerakan mahasiswa dalam isu SDSB harus diakui berhasil meskipun sedikit tertolong oleh power block politic yang ada. Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru, adalah merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”. Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari kekuatan rakyat. Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, karena tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan tidak mendapatkan jawaban dari rezim penguasa, sebagaimana yang diharapkan. Terlebih oleh Golongan Karya (Golkar), yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto. Perjalanan panjang gerakan mahasiswa akhirnya mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan indikasi turunnya kekuatan otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun keberhasilan yang mengesankan ini tampaknya tidak dibarengi oleh kesiapan jangka panjang gerakan mahasiswa. Berbagai kontroversi kemudian timbul di masyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini. Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, beranggapan bahwa langkah tersebut sudah konstitusional. Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan.
Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil, tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Paska reformasi 1998, tampak terlihat masih amburadulnya konsolidasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan visi yang muncul pada gerakan mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-friksi yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian menyebabkan friksi-friksi gerakan mahasiswa kehilangan arah dan bentuk. Hal ini menyebabkan sejumlah gerakan mahasiswa harus melakukan konsolidasi internal organisasi. Konsolidasi internal ini sebagai upaya untuk mencari format baru gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik yang baru pula. Disamping itu, konsolidasi internal ditujukan agar gerakan mahasiwa harus lebih introspeksi diri terhadap apa yang dilakukan. Upaya konsolidasi internal ini bukan berarti menegasikan dinamika politik sekitar, akan tetapi, konsolidasi internal ini agar lebih tepat, baik secara strategis dan taktis untuk melakukan gerakan kedepan. REFLEKSI PMII SEBAGAI ORGANISASI KEMAHASISWAAN Sepintas Sejarah Lahir PMII Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-citakan. Latar belakang berdirinya PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara kekuatan politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan MASYUMI (1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak enjoy beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”, dan di samping organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI), SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI (dengan PERTI), CGMI (dengan PKI). Proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri.
Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll. Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24 Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu merangkak dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan dirawat dengan baik lagi.”. Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU.
Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural PP IPNU), akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah: 1. A. Cholid Mawardi (Jakarta). 2. M. Said Budairi (Jakarta). 3. M. Subich Ubaid (Jakarta). 4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung). 5. Hilman (Bandung). 6. H. Ismail Makky (Yogyakarta). 7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta). 8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta). 9. Laili Mansur (Surakarta). 10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang). 11. Hizbullah Huda (Surabaya). 12. M. Cholid Marbuko (Malang). 13. Ahmad Husein (Makassar). Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk. Sebelum musyawarah berlangsung, beberapa orang dari panitia tersebut meminta restu kepada Dr. KH. Idham Cholid, Ketua Umum PBNU, untuk mencari pegangan pokok dalam pelaksanaan Musyawarah, mereka adalah Hizbullah Huda, M. Said Budairi dan Makmun Sjukri. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk, sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah SWT. Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII.
Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara formal organisatoris. Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13 cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU.
Dalam perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia (1960-1965). Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia (Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun 1962 menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir.
Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif Thoyyib kepada berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia. Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling dominan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru, yang pada awalnya diharapkan untuk dapat mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai cerminan dari pengabdian kepada rakyat. Pemikiran-pemikiran PMII mengenai berbagai masalah nasional maupun internasional sangat relevan dengan hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu :
1. Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo 1962 (sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU). Dibalik Nama PMII Nama PMII merupakan usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari utusan Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu. Makna “Pergerakan” adalah dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya yaitu memberi penerang bagi alam sekitarnya. Oleh karena itu PMII harus terus berkiprah menuju arah yang lebih baik sebagai perwujudan tanggungjawabnya pada lingkungan sekitarnya. Selain itu PMII juga harus terus membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuanya selalu berada dalam kualitas kekhalifahanya.
Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius, Insan Akademis, Insan Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggungjawab keagamaan, intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu sebagai hamba Allah maupun sebagai warga Negara. Makna “Islam” yang dipahami sebagai paradigma Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di dalam pola pikir dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif. Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Independensi PMII Sebuah Pilihan Seiring dengan perjalanan waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah keluarnya SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya dilarang sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus. Kondisi yang demikian menggeser posisi strategis KAMI menjadi termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa rapat mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas National Union of Student.
Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar dan beberapa anggotanya kembali pada organisasi yang semula. PMII tetap melakukan gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar dengan dukungan dari ABRI.
Perubahan konstalasi politik pun terjadi perlahan dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU dimarjinalkan dan dimandulkan. Dan disisi lain kondisi intern NU dilanda konflik internal. Harus diakui bahwa sejarah paling besar dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi dalam Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika PMII tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai organisasi kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.
Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab. Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang berlandaskan Pancasila. Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28 Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir, salah satu butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab sebagai dinamika gerakan dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.”. Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari independensi itu, kecuali proses pendewasaan. Hal ini didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan independensi PMII tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”. Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih membuktikan keberadaan dan keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda yang sarat dengan idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran dan keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri tidak berpihak pada kelompok tertentu.
Sedangkan Cholid Mawardi dalam menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU. Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang semakin tajam. Akan tetapi PMII justru memilih independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati dalam Kongres Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember 1973 secara resmi PMII independen dan memulai babak baru dengan semangat baru menuju masa depan yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural dari NU, tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi pergerakan. PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu tahun setelah Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua
Umum Drs. HM. Abduh Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan dipercaya untuk menyelenggarakan pertemuan ketiga. Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan arah gerak PMII dalam lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti sebelum bergabung dengan kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga melakukan pola pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin yang berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Ikatan Keluarga
Alumni Pergerakan Mahasiswa Indonesia (IKAPMI) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975. Lahirnya Forum alumni ini merupakan upaya untuk memperkuat barisan PMII dalam gerak perjuangannya. Dan akhirnya forum inipun disempurnakan lagi pada Musyawarah Nasional Alumni 1988 di hotel Orchid Jakarta, menjadi Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni (FOKSIKA) PMII dan Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya. Hubungan Interdependensi Pada perkembanagan lebih lanjut saat Kongres X, pola hubungan PMII dengan NU menjadi interdependen, dimana PMII tetap mempunyai perhatian khusus terhadap NU karena kesamaan kultur dan wawasan keagamaan yang memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa kemungkinan hubungan PMII–NU menjadi interdependen:
1. Kesamaan kultur dan pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.
2. Adanya rekayasa politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
3. Menghilangkan rasa saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih mudah memasuki NU setelah tidak aktif di PMII. Kendatipun demikian PMII memberikan catatan khusus independensinya yaitu bahwa hubungan tersebut tetap memegang prinsip kedaulatan organisasi secara penuh dan tidak saling intervensi baik secara struktural maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan hubungan interdependen ini untuk kerjasama dalam pelaksanaan program-program nyata secara kualitatif fungsional dan mempersiapkan sumber daya manusia. Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya, dunia kemahasiswaan berada dalam kondisi yang tidak kondusif, situasi back to campus lebih riil terjadi. Kebijakan Orde Baru telah memandulkan posisi strategis mahasiswa dan lebih didominasi oleh kekuatan militer dan Golkar. PMII hanya sebatas mampu melakukan pengkaderan secara periodik sesuai dengan progran kerja yang ditetapkan. Namun awal tahun 90-an, kelompok-kelompok gerakan ekstra universitas secara intensif melakukan diskusi-diskusi dan aksi pendampingan terhadap kasus-
Kaderisasi Berbasis Kompetensi Dalam Bingkai Ideologi Pergerakan
Basis kader PMII adalah mahasiswa yang dalam fase usia identik dengan keremajaan. Suatu fase transisi antar kana-kanak dan kedewasaan. pada fase ini kecenderungan mencari jati diri sangat besar untuk mendapatkan arah, orientasi, pandangan dan tujuan hidup di masa depan. Berbagai macam eksperimentasi banyak dilakukan, dalam terbentuknya pandangan hidup, intelektual dan keterampilan.
Sebagai mahasiswa yang hidup dalam lingkup civitas akademika, kader PMII berada dalam lingkaran kompetensi bidang atau jurusan yang digeluti, yang tentunya sangat mempengaruhi pula dalam pembentukan arah dan tujuan hidup di masa depan. kader PMII terdiri dari beragam kopetensi jurusan di setiap kampus masing-masing. Dan tentunya hal ini merupakan kekayaan dan asset organisasi yang mutlak perlu di dihargai dalam arti mengembangkan dan memberdayakan kader sesuai dengan bidang kopetensi yang digelutinya.
Selama ini pola kaderisasi PMII hanya berjalan dua arah, yang itupun saling menegasikan antara satu dengan lainnya, yakni intelektual dan gerakan sosial. Tidak ada ruang bagi pengembangan profesionalitas, wira usaha, dan keterampilan teknis di dalam ranah kePMIIan. Kader PMII yang mengembangkan diri diluar arah intelektual dan gerakan sosial cenderung terkucilkan dalam berPMII, karena sudah menjadi stereotype bahwa diluar kedu arah tersebut berarti keluar dari mindsteaim pergerakan. Walhasil, PMII penuh dengan para pemikir dan aktivis sosial yang kesemuanya dimobilisasi keranah politik.
Padahal sebagai sebagai komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai komunitas yang turut mempengaruhi fenomena kebangsaan, PMII harus dapat memiliki segalanya, sehingga mempunyai akses keseluruh sektor kehidupan masyarakat.
Kenyataan ini memang tidak lepas dari momentum sejarah kelahiran PMII. Dimana PMII lahir dalam pergolakan sosial poliltik kebangsaan pasca kemerdekaan pada masa itu.
Tetapi momentum hari ini berbeda, sejalan dengan perkembangan zaman yang terus melaju, mestinya dalam memaknai konsistensi alur sejarah tidak secara dogmatis. Tetapi memaknai konsistensi sejarah dengan mengambil ruh idelogisnya sebagai penentu arah, pandangan dan orientasi hidup setiap kader PMII. Dimana ruh ideologis sejarah tersebut dapat mempertemukan dan mempersatukan semua kader PMII dimanapun berada dan di sektor apapun bergerak dan membangun.
Tuntutan momentum era dimana kita berada hari ini adalah profesionalitas dan kopetensi di segala sektor kehidupan. Berbeda dengan tuntutan momentum pada sejarah berdirinya PMII yang sedang mengalami begolakan sosial politik pasca kemerdekaan. Hari ini kita berada ditengah-tengah persaingan yan menggelobal, sehingga pada level komunitas kita dituntut untuk membangun kualitas kader yang tidak hanya militant secara ideologis tetapi juga berbekal penguasaan keterapilan teknis di bidangnya masing-masing.
Pola kaderisasi yang telah berlangsung selama ini tidak berarti harus ditinggalkan. Tetapi tetap dilanjutkan sebagai bentuk internalisasi pemikiran dan ideologis. Dan selanjutnya melengkapinya dengan pola kaderisasi yang selama ini dinegasikan, yaitu membangun kopetensi, profesionalitas dan keterampilan teknis di setiap bidang jurusan masing-masing personalitas kader.
Apa yang terlihat dalam kepengurusan PB PMII periode sekarang (2005-2007) merupakan titik awal dari upaya pengembangan pola dan arah kaderisasi dalam membangun kopetensi, profesionalitas dan keterampilan teknis di setiap bidang jurusan masing-masing personalitas kader. Hal ini nampak jelas terlihat dalam diskusi-diskusi kecil, obrolan ringan maupun kegiatan-kegiatan yang terselenggara. Misalnya, pelatihan menejemen masjid dibeberapa daerah, pelatihan kewira usahaan, pelatihan teknisi hanphon, memfasilitasi kursus bahasa inggris bagi personalia pengurus, memfasilitasi kursus jurnalistik dan lain sebagainya.
Selanjutnya apa yang telah dimulai perlu penajaman-penajaman dan sosialisasi pada seluruh institusi dan kader PMII di seluruh wilayah nusantara, agar kita semua bangun dari kerlenaan romantisme sejarah masa lalu dan bangkit
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hali ini dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama.
BAB I
ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
Arti :
Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling benar.
Fungsi :
Landasan berpijak:
Landasan berpijak:
Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
Landasan berpikir :
Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadappersoalan-persoalan yang dihadapi.
Sumber motivasi :
Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya.
Kedudukan :
Kedudukan :
Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII. Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku.
BAB II
RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1. TAUHID
Meng-Esakan Allah SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah terkandung sejak awal keberadaan manusia.
Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakinan seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan mermbah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.
2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan ciptaan-Nya yang lain.
Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah.
Dengan demikian, dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah.
Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah – fitrah suci yang selalu memproyeksikan terntang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, Manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus.
Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan fungsi Arrahman dan Arrahim. Ketikamanusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al Mukmin, dan lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niatyang sungguh-sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asma’ul Husna.
Di dalam melakukan pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan, karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal ke4merdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15)
Sekalipun di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab prerputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam ciptaanNya iniselalu tunduk pada sunnahNya, pada keharusan universal atau takdir. 16 ) Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan- keterbatasannya, karaena semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus diserrtai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona’ah (menerima) karena disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17 )
3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa manusia berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah.
Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai mukmin manusia adalah bersaudara. 18)
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena ketakwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal, selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait mengkait atau setidaknya manusia harus berlomba dalam mencaridanmencapai kebaikan, oleh karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerjasama, totlong menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia.
Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing , berderajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan kerjasama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan sepanjang sejarah.
Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama : hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan hubungan antara muslim ddan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia.Nilai -nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudsaraan antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam , persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia . Perilaku persaudaraan ini , harusd menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapatv memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan persaudaraan.
4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga nilai taiuhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam .
Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. 23)
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25) Sebab akhirat adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26) Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh. 27)
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa.
Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia . Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah buykanlah sepenuhnya siap pakai, melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk mendayagunakannya.
Namun pada dasarnya ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan pengembangannyadisandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek meruipakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis.
Penciptaan, pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian. Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Itulah Nilai Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dipergunakan sebagai landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama dan kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan dipahami secara mendalam, dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara teguh dan dilaksanakan secara bijaksana.
Dengan Nilai Dasar Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur , berilmu, bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan peranannya sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan berkembang , beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berketuhanan.
Memahami Aswaja Sebagai Manhaj al-Fiqri
I. Definisi dan Historis
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
II. Memahami Hadits Firqah
Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di neraka kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat الفرقة الناجية)). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة“) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”. (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa ashhabi” (( ماأنا عليه وأصحا . baiklah penulis kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.
عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” لبأتين على أمتي ما أتى على بني اســــرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من بأتي أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذالك , وان بني اســـرائيل تفرقت على ثنتين وســبعين ملة, وتفترق أمتي على ثلاث وســبعين ملة كلهم فى النار الا واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله ؟ قال : ” مـــا أنا عليه وأصـــحابي”. ( الترمذي و الآجري واللا لكائي وغيرهم. حـــسن بشــواهد كثيرة )
Artinya: Dari Abillah Bin ‘Amr berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Akan datang kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani Israil. Mereka meniru perilakuan seseorang dengan sepadannya, walaupun diantara mereka ada yang menggauli ibunya terang-terangan niscaya akan ada diantara umatku yang melakukan seperti mereka. Sesungguhnya bani Israil berkelompok menjadi 72 golongan. Dan umatku akan berkelompok menjadi 73 golongan, semua di neraka kecuali satu. Sahabat bertanya; siapa mereka itu Rasulullah? Rasulullah menjawab: “ Apa yang ada padaku dan sahabat-sahabatku “ ( HR. At-Tirmidzi, Al-Ajiri, Al-lalkai. Hadits hasan)
عن أنس بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه وســلم : ” ان بني اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي ستفترق على ثنــتين وسبعين فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة ” ( ابن ماجه وأحمد واللا لكائي وغيرهم. هذا اســـناد جيد )
Artinya: Dari Anas bin Malik berkata, rasulullah SAW bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71 golongan dan sesungguhnya umatku akan berkelompok menjadi 72 golongan, semua di neraka kecuali 1 yaitu al-jamaah”. ( HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai dan lain. Hadits sanad baik)
Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah.namun berapa jumlahnya? Bilangan 73 apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya, berarti apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi ma alainaa.’
Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu mereka yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa dan jamaah. tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan
III. Ahlussunnah Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama’ memberikan tashawur (gambaran) tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.
Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:
1. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’ (جامع مانع) tapi itu merupakan gambaran (تصــور) yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas ( تصــد يق). Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa ashabii.
2. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi dari sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi
3. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as-sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu muqallid atau muttabi’ baik mengakui atau tidak.
IV. Kesimpulan
Dari pemaparan penulis tentang ahlussunnah waljamaah, secara historis, teks hadits dan penjelasan KH. Hasyim Asy’ari, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara historis, ahlussunnah waljamaah menjadi nama sebuah firqah pada masa pemerintahan abbasiah, akibat dari pergolakan pemikiran antara muktazilah dan kelompok lain. Dalam pandangan ini ahlussunnah waljamaah adalah sebuah “al-manhaj al-fikri”.
Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-islam.
Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya.
Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak hanya NU. Bias saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengtan konsep ASWAJA.
Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.
Bahan Pustaka:
1. Al-fashl fi al-milal wa al-ahwa’ wa an-nihal. Al-Imam Ibn Hazm Ad-dzahiri Al-Andalusi.
2. Ahlussunnah waljamaah; maalim al-inthilaqah al-kubra. Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry
3. Al-Qanun Al-Asasi. KH. Hasyim Asy’ari
4. Ensiklopedi Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
PMII: Strategi Pengkaderan Dan Paradigma Gerakan
Sebagai organisasi gerakan dan pengkaderan, PMII harus tetap mempunyai komitmen untuk bisa survive dalam semua kondisi, situasi dan segala bentuk perubahan tatat aturan amain baik di Indonesia (nasional) maupun internasional. Hal ini menjadi logis, karena PMII didirikan buka untuk bertahan dalam kurun waktu selama 1,2, ….10 tahun, tetapi PMII ada untuk untuk tetap memperjuangkan social mandatory dan amanat sebagai mana termaktub sebagaimana termaktub dalam nilai dasar pergerakan dan visi-mis organisasi. Untuk itu kemampuan dan analisa PMII sebagai organisasi untuk melihat segala fenomena dan bentuk perubahan perilaku baik individu, Negara masyarakat dan dunia menjadi mutlak keberadaannya.
A. Mencari Modal Gerakan.
1. Tatapan Internasional
a. Keberadaan Indonesia tidak lepas dari pergerakan diluar apalagi dalam trend dunia yang mengglobal. Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak biusa dihindari, globalisasi akan menciptakan pasar perekoneomian dunia menjadi menyatu (borderless market) tak hanya pada sector ekonomi, social budaya pun mengalami hal yang serupa (borderless society). Globalisasi telah menciptakan idealisasi global yang mengakibatkan transedensi dari nilai-nilai etatosentris. Nilai-nilai baru tersebut mengatasi keterlibatan dengan nilai-nilai berbangsa menuju nilai-nilai yang berlaku universal. Hal ini berarti akan terjadi pergeseran atau perubahan penghayatan nilai-nilai yang mengakibatkan adanya suatu goncangan budaya (cultural shock).
Menurut konsepnya Ernest Renan, bangsa merupakan suatu kelompok manusia yang mempunyai kehendak atau tekad untuk tetap hidup bersama (le desire de vivre ensamble)yang mempunyai suatu rasa senasib dalam masa lampau terutama didalam penderitaan bersama.
Bangsa Indonesia adalah sebuah lokus yang didalamnya terdapat kekayaan tradisi, sisitem nilai, cita-cita luhur kemanusiaan, moralitas keagamaan, dan naluri social untuk membentuk sebuah Negara bangsa (nation state) yang didalamnya kita semua bisa tumbuh dan tinggal secara nyaman dan beradab. Pertumbuhan inilah yang secara social-antropologis kita sepakati sebagai ‘’kontrak sosial’ dan ‘komitmen politik’ untuk bersama-sama membangun, menjaga dan memiliki ‘rumah Indonesia’yang harus menjaga etika bertetangga dengan rumah bangsa dan negara lain.
b. Konsolidasi politik negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperialisme lama. Konsolidasi tersebut menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, dan regulasi internasional dan pembentukan-pembentukan institusi politik global, seperti PBB, EEC (Economic Europe Comunity), Uni Eropa, NAFTA etc.
Institusi politik internasional inilah akan menciptakan role of the game atau aturan main percaturan politik global berskal internasionalkhusunya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian. Perkembangan politik internasional tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan rezim internasional yang mempunyaio pengaruh cukup signifikan dan memiliki otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain.
c. Posisi Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar dari proses internasionalisasi politik tersebut, apalagi dengan kondisi geografisiIndonesia yang sanagat strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan negara-negara ketiga lainnyaakan semakin kehilangan kontrol atas atas arus informasi, teknologi penyakit, migrasi, senjata, dan tarnsaksi finansial baik legal maupun maupun ilegal yang melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non negara , mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global diatas.
d. Oleh Karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam gamabar dan ruang yang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai bagaian dari sebuah sisitem dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yangs edang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasinyakita dapat melihat pola-pola yang digunakan oleh sisitem tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sisitem dunia ini, lalu bagaimana kita menhubungka perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sisitem dunia ini? Jawaban ada pada diri kader Pergerakan.
B. Stretegi dan Taktik Kaderisasi
Sebuah gerakan yang rapi dan masif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perbutan. Tanpa menggunakan logika ini maka gerakan akan selalau terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyhuran dan kebanggan diri semata.
1. Realitas Pengakderan PMII
a. Sistem Rekruitmen
- Pertimbangan Emosional (Persahabatan)
- Pertimbangan Ideologis (karena sama-sama NU)
- Pertimbangan Rasional
- Pertimbangan Pragmatis
b. Sistem Pengakderan
- Terjebak pada rutinitas pengkaderan formal
- Lemahnya infrastruktur pengkaderan (materi, hand out, Fasilitator etc)
- tidak adanya materi pengkadetran yang berbasis akademik/fakultatif
- Kentalnya Hegemoni senior (baca : alumni)
- Terabaikannya kader dari kampus umum atau eksakta
c. Medan Distribusi
- Alumni hanya berkumpul pada satu bidang saja (Parpol, LSM, wartawan)
- Ketidak mampuan merebut atau menciptakan ruang baru untuk pendistribusian kader
2. Tawaran Solusi
Dengan realitas pengkaderan tersebut maka diperlukan antara lain :
1. Selektifitas pola rekrutmen kader
2. Pengadaan Materi pengkaderan yang layak dan fakultatif
3. 30 % kurikulum pengakderan berisi muatan local
4. Adanya pelatihan instruktur atau fasilitator pelatihan secara berkala
5. Sistem Pengkaderan di PMII harus mempertimbangkan basic keilmuan kader
6. Membangun komunikasi yang startegis dan non hegemonik dengan alumni
7. Merebut serta berusaha untuk mencitpakan medan distribusi bagi kader-kader PMII di dunia profesional.
Berikut ini skema proses kaderisasi yang harus terjadi di PMII. Sekema di bawah ini tidak boleh ada keterputusan anatar suatu proses dengan proses yang lainnya, karena antara astu dengan yang lainnya saling terkait, dan proses tersebut akan berjalan terus menerus. Skema ini paling tidak memebrikan sedikit gambaran kita bahwa sisitem pengakaderan PMII jangan hanya terfokus pada sisi internal saja, artinya, mencetak kader sebanyak-banyaknya tetapi tidak tahu mau didistribusikan kemana kader-kader tersebut. Untuk itu sudah saatnya kita berfikir realistis, bahwa tanggung jawab PMII secara oragnisasional juga terletak pada sisi pendistribusian kader pada medan-medan distribusi.
Skema Stratak pengakaderan PMII
C. Paradigma/ Cara Pandang GerakaN
Sebagai organisasi gerakan, PMII harus tetap menujukkan sifat kohesinya terhadap segala bentuk ketidak adilan,. Untuk itu diperlukan adanay cara pandang organisasi terhadap segala bentuk ketidakadilandan segala bentuk perubahan perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Membangun paradigma gerakan memang sesulitr membaca kenyataan yang semstinya menjadai pijakan paradigma itu. Paradigma yang baik adalah paradigma yang yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini.
Dengan selalu berangkat dari kenyataan riil, kita akan mampu menagkap struktur apa yang sat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free wheel) peradaban yang hegemonik. Selama ini nalar mainstream yang digunakan dalam penyusunan paradigma PMII adalah nalar yang berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal daripada kenayataan.
Pertanyaanya kemudian, apakah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) masih relevan untuk menatap realitas perubahan saat ini?. Jawabnya masih relevan, hanya problemnya terletak pada cara pandang dalam menatap sebuah realitas kekinian saja. Namun perdebatan tentang layak tidaknya PKT tersebut dirubah atau tidak forum Muspimnas bukanlah m,erupakan forum yang legitimate untuk merubah PKT tersebut dan hanya forum kongres lah yang legitimate untuk merubah paradigma PKT tersebut.
Namaun beberapa catatan yang harus diingat tentang paradigma itu anatara lain :
1. Paradigma tidak boleh resisten terhadap segala bentuk gejala dan perubahan siklus dan perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Jika PMII tidak ingin tergilas oleh roda gila yang sedang berjalan, yaitu globalisasai.
2. Paradigma harus disertai dengan contigency plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.
3. Paradigma yang didorong oleh startegi, sehingga pardigma tidak dianggap suatu yang baku.
Problematika SISTEM PENGKADERAN PMII
Berbicara tentang pengkaderan PMII, sebenarnya telah membicarakan tentang satu sistem pola pengajaran dan pananaman ideologi yang sudah dirumuskan, didiskusikan dan diaplikasikan selama 24 tahun semenjak berdirinya PMII, (yang hampir mendekati tahun peraknya PMII). Satu perjalanan yang tidak bisa dianggap angin lalu.
Banyak problem-problem yang bersemayam dalam tubuh PMII dalam menerapkan dan mencari bentuk proses pengkaderan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan kader dan juga mampu menjawab setiap problem realitas yang dihadapi oleh kader. Tidak heran juga dalam perjalanan PMII materi yang diterapkan dalam proses pengkaderan selalu berubah-ubah.
Salah satu persoalan yang sering dihadapi adalah membentuk satu bentuk sistem pengkaderan yang berbasisi lokal adalah masih belum menemukan satu titik terang yang mampu menjawab setiap realitas yang dihadapi oleh kader.
Basis pengembangan PMII di kampus agama dan humaniora ternyata mempunyai efek domino dalam membentuk sistem pengkaderan. Pola pengembangan pengkaderan pada kampus yang bersifat eksakta ternyata masih menjadi satu topik pembahasan yang menarik dan belum terlihat ujung pangkalnya.
Walaupun sudah tidak bisa terhitung dengan jari bagaimana upaya dari punggawa organisasi untuk merumuskan dan menjawab persoalan tersebut, namun masih banyak sisi-sisi kelemahan dan kekurangannya.
Salah satu problem mengapa sistem pengkaderan selalu dirasakan ada kelemahannya adalah, karena pola pembacaan perkembangan kader tidak bisa di up date setiap saat. Ketika ada problem tentang perkembangan dan kebutuhan kader para punggawa organisasi hampir selalu (80%) membuat punggawa organisasi melakukan pembacaan problem dan kebutuhan kader dari awal. Data base yang sebenarnya telah terbentuk atau yang sudah ada masih belum bisa dioptimalkan sebagai bentuk kelanjutan dalam pembacaan, sehingga pembacaan tersebut dirasakan mengalami stagnasi dalam setiap kali merumuskan satu sistem pengkaderan
Di satu sisi, rumus sistem pengkaderan yang telah terbentuk dalam sebuah modul kaderisasi ternyata masih dipahami pada tingkataan pengurus saja, bahkan lebih ironis lagi bila dipahami oleh ketua umumnya saja. Disini dapat kita rasakan ada satu sistem transformasi pengkaderan pada tingkatan kader masih belum optimal. Selain itu tawaran yang telah diberikan dalam modul masih belum mampu membaca pada tingkatan yang lebih rigid. Pada rumusan pengkaderan yang bersifat informal maupun non formal masih menjadi satu kendala dalam mematrialkan dari rumusan modul yang telah ada, sehingga sistem pada pengkaderan yang bersifat informal maupun non formal masih belum menjadi sebuah sistem yang stabil.
Apalagi jika dihadapkan dengan perkembangan PMII di kampus umum. materi-materi yang bisa menjawab kebutuhan kader di perguruan tinggi umum masih belum terjawab dengan tuntas.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini merupakan salah upaya kita untuk bisa menutupi, menyempurnakan pembacaa-pembacaan yang telah dirintis oleh para pendahulu kita. Sebenarnya masih ada beberapa tulisan ini yang belum dikupas yakni: Realitas PMII di Kampus-kampus Pasuruan, Pemetaan Potensi Kader PMII Pasuruan, Perjalanan Perkembangan Kaderisasi Pasuruan, Tawaran Sistem Kaderisasi Berbasis Kebutuhan Lokal. Namun karena kebatasan kesempatan untuk mengeksplorasi dalam bentuk tulisan ini yang belum memberikan peluan, maka kupasan di atas hanya bisa menjadi pengantar diskusi saja. Tapi saya yakin dalam mini workshop ini semua kupasan di atas dengan sendirinya akan terjawab
No Response to "LIKA-LIKU PMII dalam pembangunan paradigma"
Posting Komentar