Jumat, 08 April 2011 Tags: 0 komentar

Surah al-Fâtihah dalam Perspektif Pendidikan Akhlak Berbasis Tauhîd

ABSTRAK
Era globalisasi telah memberikan dampak besar terhadap akhlak manusia. Pergeseran nilai, cara pandang, sikap dan prilaku manusia tampak cenderung kepada hal-hal yang negatif dan jauh dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Berkata bohong, menipu, korupsi, mencuri, menganiaya orang lain dan kejahatan lainnya telah mewabah di mana-man. Itu adalah di antara kejahatan akhlak manusia. Kejahatan akhlak itu wajib diperbaiki dengan pendidikan akhlak  yang bersumber dari al-Qur’an.
Surah al-Fatihah memiliki kedudukan yang penting. Ia disebut ummu al-kitâb (induk al-Qur’an). Orang yang beriman membacanya sekurang-kurangnya 17 kali dalam 17 rakaat dalam salat wajib 5 waktu. Ia menjadi rukun dalam salat. Surah al-Fatihah  ditulis dalam urutan pertama berdasarkan penulisan Mushaf al-Qur’an Usmanî.
 Tulisan ini mencoba mengungkap pesan penting Surah al-Fâtihah dalam perspektif pendidikan akhlak berbasis tauhîd  . Surah al-Fatihah mengandung pesan  penanaman konsep, tauhîd zat, asmâ wa al-sifât , tauhîd rubûbiyyah dan tauhîd ulûhiyyah melalui makrifat (mengetahui) nama Allâh , al-Rahmân, al-Rahîm, Rab al-Alamîn dan al-Mâlik dengan mengasah daya pikir dan potensi akal. Selanjutnya upaya penghayatan terhadap makrifat kepada Allah swt tersebut  menumbuhkan kesadaran  beribadah dan berbakti hanya  kepadaNya yang dipandu oleh ajaran nabi dan rasul melalui keteladanan. Ibadah ini mengasah daya rasa dan potensi hati. Kajian kepustakaan tentang penafsiran surah al-Fâtihah dari beberapa mufassir menjadi landasan sekaligus komparasi dalam  tulisan ini.  

1. Pendahuluan
Bangsa Fir’aun pada awalnya adalah bangsa yang kokoh dan kuat. Kemudian menjadi bangsa yang hina dan dibinasakan karena keruntuhan dan kebejatan akhlaqnya. Begitu besar peranan akhlaq bagi tegak dan runtuhnya suatu bangsa. Bencana, musibah seperti gempa Sunami, Jebolnya tanggul Danau Situ Gintung dan gempa di Padang dalam pandangan al-Qur’an Qs. 17: 16  disebabkan kedurhakaan sebagian orang  yang hidup bermegah-megah. Kedurhakaan kepada Allah dan rasulnya adalah bentuk akhlak yang buruk. Akhlak yang buruk tersebut wajib diperbaiki dengan   pendidikan akhlaq yang berdasarkan al-Qur’an seperti dalam surah al-Fatihah.
Nabi Muhamad saw diutus  untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Karena tugas tersebut, nabi memiliki akhlaq yang agung.  Kemuliaan akhlaq Nabi Muhamad diakui oleh lawan maupun kawan. Jadi target pendidikan akhlaq adalah agar manusia memiliki akhlaq yang agung atau mulia.
Didin Hafidhuddin berpandangan bahwa al-Qur’an dalam posisi sebagai petunjuk bersifat universal, berlaku sepanjang zaman dan ruang. Tugas bagi umat Islam adalah bagaimana memahami dan menerjemahkan pesan-pesan dan  petunjuk-petunjuk itu menjadi sebuah pedoman praktis untuk menjawab realita sosial dan problematika kehidupan umat manusia.  Akhlak tercela dapat muncul   akibat dampak negatif globalisasi. Ini bagian yang akan  dijawab oleh al-Qur’an. Jawaban itu bisa kita gali dalam kandungan surah al-Fâtihah.
Surah  al-Fâtihah pantas dikaji dalam perspektif pendidikan akhlak. Ia memiliki posisi tersendiri dibanding dengan surah-surah lain dalam al-Qur’an. Posisi dimaksud adalah surah al-Fâtihah disebut al-Qur’ân al-adhîm (bacaan agung) karena ia mengandung semua ilmu-ilmu al-Qur’an dan dan pokok-pokok kandungannya. al-Fâtihah juga disebut al-Sab’u al-Matsânî, maksudnya tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam rakaat salat. Selain itu, al-Fâtihah disebut al-asâs, maksudnya pokok isi al-Qur’an ada dalam surah ini.
Berdasarkan sebutan nama al-Fâtihah itu maka dapat difahami bahwa sebagian kandungan pokok bahasan al-Qur’an adalah pendidikan akhlak. Maka surah al-Fâtihah  juga mengandung pendidikan akhlaq meskipun konsep dasar. Atas dasar itu penulis mencoba menelaah  surah al-Fâtihah dalam perspektif pendidikan akhlak.
Telaah surah al-Fâtihah dalam perspektif pendidikan akhlak ini penting artinya bagi kita semua yang hidup dalam tantangan era globalisasi dan informasi. Globalisasi  adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Hubungan dan pertukaran antar budaya di dunia berjalan sangat cepat. Perang kebudayaan dan peradaban tidak dapat dielakkan. Nilai-nilai akhlak agung dapat tergeser dengan dominasi peradaban yang bersumber dari faham materialisme dan hedonisme. Dalam kondisi seperti ini telaah pesan dan petunjuk kandungan  surah al-Fâtihah  dalam perspektif pendidikan sangat penting artinya untuk menjadi alternatif bagi konsep-konsep pendidikan yang telah ada.
2. Surah al-Fatihah dalam pandangan Mufassir
Surah al-Fatihah ditulis dalam mushaf Al-Qur’an pada surah dengan urutan pertama meskipun ia bukan surah yang pertama kali turun. Ia Surah Makkiyyah. Jumlah ayatnya 7. yang terdiri dari 38 kata.
Dalam pandangan para mufassir, kandungan surah al-Fatihah mencakup kandungan surah-surah dalam al-Qur’an. Artinya kandungan surah-surah dalam al-Qur’an pada dasarnya menjelaskan dan merinci kandungan ayat-ayat dalam surah al-Fatihah. Pada bagian ini dikemukakan beberapa pandangan mufassir tentang kandungan surah al-Fâtihah.
Menurut Muhamad Abduh ada lima tujuan diturunkan al-Qur’an. Lima tujuan tersebut ada dalam surah al-Fâtihah.

Pertama, tauhîd (mengesakan Allah) terkandung dalam ayat kedua  dan  Ayat kelima.  Tauhîd ini  menghendaki totalitas ibadah, penghambaan dan ketundukan hanya kepada Allah swt.
Kedua,    al-wa‘du wa al-wa‘îd (janji dan ancaman) terkandung dalam ayat pertama.  dan ayat keempat.  Ayat ini  mangandung makna janji dan ancaman secara bersamaan. 
Ketiga, al-‘ibâdah (beribadah, mengabdi) terkandung dalam ayat kelima. Pedoman ibadahnya dijelaskan oleh ayat berikutnya yaitu istiqâmah dalam jalan yang lurus. 
Keempat, bayân sabîl al-sa‘âdah (penjelasan jalan untuk memperoleh kebahagiaan) terkandung dalam ayat keenam.  Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa kebahagiaan akan tercapai dengan istiqâmah dalam jalan yang lurus (al-Islam yang dianut oleh para nabi) dan kesengsaraan akan terjadi karena menyimpang darinya.
Kelima, qasas (cerita) terkandung dalam ayat ketujuh.  Ayat ini menegaskan adanya tiga macam kaum terdahulu: para nabi, kaum yang dimurkai dan kaum yang sesat.  Para nabi adalah mereka orang-orang yang menetapi syariat Allah dan  petunjuk-Nya. Ayat ini merupakan seruan untuk mengambil pelajaran dari mereka dan mengikuti jalan yang mereka tempuh.
Kaum yang dimurkai adalah kaum yang menentang dan mengingkari Allah. Adapun orang yang sesat adalah orang yang menyimpang dari jalan-Nya.
Penjelasan jalan untuk memperoleh kebahagiaan yang terkandung dalam ayat keenam di atas menunjukkan bahwa surah al-Fâtihah dapat dijadikan dasar  dalam pendidikan akhlak untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Sejalan dengan Muhamad Abduh namun lebih singkat, Said Hawa dalam kitab tafsirnya  menegaskan bahwa pada dasarnya kandungan surah al-Fâtihah ada tiga pokok. Pertama, masalah akidah (keyakinan) sebagaimana terkandung pada ayat 1-4. Kedua, ibadah seperti terkandung dalam  ayat 5. Ketiga, manhaj al-hayâh (jalan hidup). Selanjutnya ia menjelaskan bahwa pokok dari akidah adalah iman kepada Allah dan hari akhir, pokok dari ibadah adalah ikhlas dan pokok dari jalan hidup adalah megikuti ajaran para nabi.
Persamaan antara Muhamad Abduh dengan Said Hawa adalah bahwa surah al-Fâtihah mengandung manhaj al-hayâh (jalan menuju kebahagiaan hidup). Perbedaan terletak pada penggunaan istilah. Sebagai contoh, Muhamad Abduh menggunakan istilah tauhîd, al-wa’du wa al-wa’îd sementara Said Hawa menggunakan istilah akidah.
Mufassir berikutnya adalah wahbah Zuhaili . Ia menjelaskan kandungan surah  al-Fâtihah menurut urutan ayat dalam kontek pendidikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dalam kitab tafsirnya  ia menjelaskan bahwa setiap ayat dalam surah tersebut merupakan bimbingan dan ajaran untuk kita. Menurutnya, Allah mengajarkan 6 hal dalam surah al-Fâtihah sbb: (1) memulai sesuatu amal perbuatan dengan membaca bismillah (sikap ikhlas).
Dengan bacaan tersebut berarti ia telah memohon pertolongan KepadaNya melalui NamaNya Yang Agung Allah swt (ayat 1), (2) memuji dan bersyukur KepadaNya (ayat 2-3), (3) berlaku adil. Setiap amal manusia akan mendapatkan balasan di akhirat  (ayat 4 ), (4) beribadah dan memohon pertolongan hanya kepadaNya (ayat 5), (5) memohon hidayah dan taufiqNya agar tetap berada dalam agama Islam (ayat 6), (6) mengikuti perbuatan para nabi, orang-orang salih dan menjauhi perbuatan orang-yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.
Penafsiran Wahbah al-Zuhailî di atas tidak mengelompokkan kandungan pembahasan seperti yang dilakukan oleh Said Hawa sebagaimana disebutkan di atas, akan tetapi ia mengambil pesan penting dari masing-masing ayat dengan bahasa yang mudah dipahami dan mudah diamalkan dalam kehidupan nyata sehari hari.
Penafsiran model baru tentang  surah al-Fâtihah dari sudut pandang managemen dikemukakan oleh pendiri Asosiasi Trainer Muslim Indonesia yaitu Heru SS. Ia mengemukakan bahwa surah al-Fâtihah mengandung Visi, misi, strategi dan aksi menuju sukses hakiki. 
Visi/ tujuan hidup dijelaskan dalam ayat 1-4. Dalam ayat-ayat tersebut Allah swt mengenalkan diri-Nya dengan sifatNya Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Kita wajib  bersyukur karena Dia menciptakan alam ini untuk kita dengan segala fasilitas yang ada di dalamnya. Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang dan penguasa hari pembalasan.  Jadi tujuan hidup adalah kembali kepada Allah dengan mendapat rahmat dan ridhaNya, kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat.
Misi dijelaskan dalam ayat 5. Tugas sebagai hamba Allah adalah beribadah dan selalu minta pertolongan kepada Allah SWT.
Strategi dijelaskan dalam ayat 6. Strategi orang beriman untuk mencapai kesuksesan adalah  meniti jalan yang lurus yaitu Islam, beribadah dengan mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Aksi/ cara hidup dijelaskan dalam ayat 7. Beriman dan beramal shalih adalah aksi orang yang beriman dengan meneladani orang-orang yang diberi nikmat yaitu para nabi, orang-orang yang benar, mujahidin dan orang yang salih. Tidak berbuat kerusakan dan menjaga diri supaya tidak dimurkai dan tidak sesat.
Penafsiran Heru SS di atas menurut pengakuannya merupakan hasil renungan dan tadabbur ayat-ayat dalam surah al-Fâtihah. Dalam pandangan kami, penafsirannya menggunakan teori kesatuan tema dalam surah dengan tema menuju sukses hakiki.
Kajian dan penafsiran Surah al-Fâtihah yang dikemukakan oleh para mufassir di atas penulis jadikan  referensi  untuk menelaah surah al-Fâtihah dalam Perspektif  pendidikan akhlaq berdasarkan kesatuan tema dalam surah dan sistematika ayat dalam surah tersebut.
3. Pendidikan Akhlak
Berbicara pendidikan   kita jumpai 3 aliran pendidikan: Empirisme, nativisme dan konvergensi. Empirisme berpendapat bahwa manusia  lahir dalam keadaan seperti kertas kosong. Sementara nativisme berpandangan bahwa manusia lahir dengan membawa bakat. Perpaduan dari  dua pandangan tersebut melahirkan aliran konvergensi.  
Dalam pandangan Nabi Muhammad, manusia lahir dalam keadaan suci maka kedua orang tualah yang menjadikan anak tersebut dapat menjadi orang Nasrani atau orang Yahudi. Sabda nabi di atas menunjukkan 3 komponen yang terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan akhlak:  Peserta didik, Pendidik dan lingkungan tempat proses pendidikan dilakukan. Dua komponen yang terahir sangat berperan aktif dalam memberikan pembentukan, pewarnaan dan penyempurnaan  akhlaq manusia. Dalam kesempatan lain nabi Muhammad saw diutus untuk  menyempurnakan akhlaq.
Jadi inti dari pendidikan akhlaq adalah upaya secara sadar untuk mengembangkan fitrah manusia untuk mencapai tingkat akhlak yang sempurna, akhlaq yang agung dan mulia. Materi dan metode Pendidikan akhlak dapat berdasarkan kepada kandungan dan pesan  surah  al-Fâtihah.
4. Perspektif Pendidikan Akhlak Berbasis Tauhîd
Di atas telah diuraikan kandungan surah al-Fâtihah menurut para mufassir. Uraian di bawah ini mencoba menelaah kandungan dan pesan surah al-Fâtihah dalam perspektif pendidikan akhlak berbasis tauhîd. Ada tiga tahap dalam proses pendidikan akhlaq yang dapat digali dari  surah  al-Fâtihah.
Pertama. Menanamkan  Tauhîd melalui pemahaman dan penghayatan tentang konsep Allâh, al-Rahmân, al-Rahîm, Rab al-Alamîn dan Mâliki yaumi al-dîn dan meneladani sifat-sifat ketuhanan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata. Upaya memahami konsep-konsep dimaksud diarahkan untuk mengasah dan mengembangkan potensi akal yang dibingkai dalam ranah tauhîd dan jauh dari syirk.  Penjelasan konsep nama-nama Allah di atas dijumpai pada surah-surah lain dalam al-Qur’an.
Konsep nama Allâh dijelaskan oleh ayat 1-4 dalam surah  al-Ikhlâs . Surah ini menerangkan dengan jelas, tegas, singkat dan padat empat sifat Allah yang tidak dimiliki oleh selainNya. Allah adalah Esa, tunggal, berdiri sendiri dan tidak butuh bantuan lain. Allah tempat bergantung semua makhluk. Manusia misalnya butuh air. Air adalah ciptaan Allah. Siapa yang butuh air berarti ia bergantung kepada penciptanya. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia tidak berubah dan tidak dipengaruhi oleh perubahan. Manusia mengalami perubahan, dari sperma menjadi darah, daging, bayi, remaja, dewasa kemudian mati. Allah tidak ada yang menyamainya. Meskipun Allah mendengar namun tidak sama dengan cara mendengarnya dengan manusia. Dalam surah ini nama Allâh diperkenalkan yang pertama sebelum nama-namaNya yang lain. Nama ini adalah nama Zat yang berhak dan wajib diibadahi (dicintai, ditakuti dan diharapkan) oleh seluruh makhluk ciptaanNya.
Kata “al-Rahmân” (Maha Pemurah) diperkenalkan oleh surah al-Fâtihah setelah kata Allah. Ini artinya bahwa sifat Allah yang menonjol dalam dirinya adalah kemurahan Allah yang tidak pilih kasih. Rahmat Allah diberikan kepada semua makhluk.  Allah memberi rizki kepada yang beriman dan yang kafir, yang taat maupun yang durhaka. Penjelasan tentang macam-macam anugerahNya kepada manusia dapat dibaca dalam surah ke 55, surah al-Rahmân. Dengan memahami dan menghayati berbagai macam kemurahan Allah yang sangat luas seseorang akan bersyukur kepadaNya. Jadi sikap syukur adalah dampak dari penghayatan dan pengamalan kata “al-Rahmân”.
Sikap  syukur tersebut  diwujudkan dalam bentuk beribadah  hanya kepadaNya. Lisannya selalu mengucapkan tahmîd . Hatinya selalu mencintai Allah karena merasakan banyaknya anugerah yang dia terima. Ia takut akan siksa Allah di dunia maupun di akhirat akibat dosa yang dilakukan. Ia selalu mengharap Kepada Allah agar amalnya diterima dan mendapatkan ridhoNya. Badannya dan anggota tubuhnya digunakan untuk ketaatan kepadaNya. Matanya digunakan untuk membaca al-Qur’an, akalnya untuk berfikir keagungan Allah. Ia berupaya meneladani sifat kemurahan Allah dengan sering memberi manfaat kepada orang lain. Memberi beasiswa kepada yatim piatu. Memberi bantuan uang dan bahan pokok kepada fakir miskin. Mengajari al-Qur;an kepada orang yang buta aksara al-Qur’an dll.
Kata “al-Rahîm” (Maha Penyayang) mengandung pengertian bahwa Allah menyayangi hanya kepada orang yang beriman dan taat.  Ketaatan kepada Allah dengan menjalankan perintahnya seperti salat dan infaq adalah sebuah perjuangan dan prestasi. Prestasi ini layak dan berhak mendapat apresiasi dan pahala. Mukmin yang taat akan disayang oleh Allah di dunia dan dimasukkan ke dalam surga kelak di akhirat. Sebaliknya manusia yang kafir dan durhaka di dunia jauh dari rahmatNya dekat dengan kemurkaanNya, di akhirat disiksa di dalam neraka. Pemahaman dan penghayatan seperti ini mendorong seseorang untuk memilih iman dan taat dari pada kufur dan maksiat. Pesan penting kata “al-Rahîm” adalah menyayangi kepada orang-orang yang beriman dan taat.  Pesan ini diimplementasikan dalam perbuatan nyata sehari- hari seperti mengucapkan salam kepada sesama muslim, menjawab salam dan sms, mengucapkan selamat atas kesuksesan saudara seiman, silaturrahmi untuk menjalin ukhuwwah, memberi hadiah kepada teman yang beriman atas prestasi dan pengorbanannya, Memberikan apresiasi atas pekerjaan seseorang. Memberikan hadiah kepada anak yang naik kelas. Mengucapkan terima kasih dan pujian kepada istri atas jerih payahnya dalam membuat hidangan dan merawat anak. Kerjasama dan gotong royong untuk membangun masjid dan lembaga pendidikan dsb.
Ali al-Sâbûnî berpendapat bahwa kata “Rab al-Âlamîn”mengandung maknan bahwa Allah adalah pemilik alam semesta, pengatur dan penglola alam semesta.  Sementara Rasyid Rida memaknai al-rabb dengan tuan yang mengatur, memelihara dan mengurus budaknya.   Allah pencipta sekaligus pemilik matahari. Ia mengaturnya, menerbitkannya dari timur pada pagi hari dan menenggalamkannya pada malam hari untuk kebaikan bumi beserta isinya. Allah menurunkan air hujan untuk kesuburan tanaman yang dibutuhkan. Alam semesta, bumi beserta isinya diciptakan, diatur oleh Allah untuk manusia sebagai bekal ibadah kepadaNya.
Pesan penting yang dapat diambil dari ayat di atas adalah meneladani sifat-sifat rububiyahnya Allah swt. Implemetasi pesan ayat adalah menempatkan seseorang sesuai dengan bakatnya, memberi tugas kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya. Meletakkan barang  pada tempatnya. Membuang sampah di ranjang sampah bukan sembarang tempat. Meletakkan buku di rak buku bukan sembarang tempat. Memarkir mobil di tempat parkir mobil bukan tempat parkir sepeda. Menempatkan mushaf al-Qur’an di tempat yang tinggi dan mulia. Merawat barang supaya tidak cepat rusak. Membersihkan lantai rumah, kamar mandi agar bersih dan indah.
Kata “maliki yaumi al-dîn” mengandung makna yang merajai pada hari pembalasan.
Raja yang arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan selalu memperhatikan kemaslahatan orang banyak. Raja adalah pemimpin. Dalam memimpin ia menciptakan suasana aman dan kondusif serta menjauhkan umat dari syirik sebagaimana dilakukan oleh nabi Ibrahim as.  Meneladani sifat-sifat maliki yaum al-dîn dapat diimplemetasikan dalam perbuatan nyata sbb: sebelum mengambil keputusan yang tepat seseorang bermusyawarah dengan orang yang ahli dibidangnya dan minta petunjuk kepada Allah, menyebarkan salam, menyebarkan perdamaian,  melindungi nama baik orang, memberi makan orang yang membutuhkan, tidak menyalahgunakan wewewnang, tidak berlaku lalim, tidak korupsi, tidak mencuri dsb. 
Memahami, menghayati, meneladani nama-nama dan sifat-sifat Allah di atas dan mengimplementasikan  secara benar dan komprehensif mengantarkan seseorang  beriman kepada Allah dan hari akhir dengan iman yang sempurna. Iman yang sempurna pasti akan menggerakkan pelakunya untuk beribadah dan beramal salih dengan produktif dan penuh keikhlasan.
Sahabat nabi berani mengambil resiko ikut hijrah, terjun ke medan perang dan tugas berdakwah adalah bukti bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Imannya telah menggerakkan mereka untuk berjuang dan berkorban. Oleh karena itu sangat tepat sekali bahwa ayat sesudah pengenalan nama dan sifat Allah adalah ayat pengakuan dan ikrar beribadah hanya kepada Allah.
Kedua, menumbuhkan  kesadaran beribadah dengan penuh keikhlasan, benar dan dilakukan secara istikomah dan terus menerus seperti terkandung dalam ayat 5-6. Iman yang sempurna akan mengantarkan pelakunya untuk beribadah dengan kesadaran dan keikhlasan. Ia berkeyakinan bahwa dirinya sedang menghadap dan berdialog kepada Allah dengan menyatakan “iyyâKana’budu wa iyyaKa nasta’î ”  Ibadah punya arti bentuk perbuatan ketaatan dan kepatuhan yang dilandasi mahabbah (cinta) kepada Allah. khauf (takut siksa dan neraka) akibat meninggalkan perintah Allah dan rajâ (mengharap) ridhaNya.  Ibadah yang dilakukan harus benar sesuai dengan tuntunan Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah). Tuntunan ini melindungi dan menjaga orang yang beribadah dari kesalahan dan perbuatan bid’ah. Penggunaan fi’il mudhari’ pada kata “na’budu” menunjukkan bahwa kegiatan ibadah itu wajib dilakukan secara istikomah (terus menerus). Penggunaan dhamir “na” yang berarti “kami” menunjukkan pelaksanaan ibadah itu dilakukan  dengan cara kolektif atau jama’i. Ibadah yang dilakukan secara jama’i punya fungsi syiar dan suasana  yang kondusif dalam proses pendidikan.
Implementasi ibadah diwujudkan dalam perbuatan nyata seperti salat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, infaq, salat malam, baca al-Qur’an, zikir, tawakkal, sabar dalam melaksanakan kebenaran, menjauhi kejahatan dan orang-orang yang jahat. Ibadah tersebut jika dilakukan dengan benar, penuh kesadaran dan istikomah akan membangun karakter yang agung seperti sikap disiplin, peduli kepada sesama, memiliki jiwa besar dan tahan uji.
Menanamkan kesadaran beribadah dilakukan dengan keteladanan. Fungsi ibadah adalah meningkatkan rasa akan kehadiran Allah dalam kehidupan nyata sehari hari dan merasakan bahwa Allah sebagai tempat bergantung.
Ketiga, Menumbuhkan kesadaran berbuat yang benar dan baik, bergaul dengan orang-orang yang benar dan baik, meninggalkan perbuatan tercela dan orang-orang yang dimurkai, perbuatan yang salah dan orang-orang yang tersesat.  Sebagaimana terkandung dalam ayat 7. Pergaulan  dengan orang-orang yang benar dan baik seperti para nabi dan orang-orang saleh akan  mendorong seseorang   untuk meneladani mereka. Begitu sebaliknya. Pergaulan  dengan orang  yang jahat akan mendorong seseorang berbuat kejahatan. Pemetaan perbuatan yang benar, perbuatan yang dimurkai dan perbuatan yang salah harus diaajarkan dan dimiliki oleh pendidik dan peserta didik. Tiga tahap itu akan melahirkan akhlaq agung, luhur dan mulia.
Tiga  tahap pendidikan akhlaq di atas sejalan dengan konsep iman, Islam dan ikhsan. Tauhid dan iman ibarat akar pohon, batangnya adalah ibadah dan islam. Buahnya adalah perbuatan baik dan ikhsan.
Tiga tahap tersebut seirama dengan pendapat kalangan ahli Tasawwuf dengan istilah tahapan Takholli (membersihkan jiwa dari keterikatan dengan duniawi), tahalli(menghiasi diri dengan ibadah dan amal salih) dan tajalli (munculnya akhlaq yang agung/ikhsan).
Catatan Kaki ;  
Tauhîd secara bahasa berarti menunggalkan sesuatu dan meniadakan berbilang darinya. Secara istilah syar’i Tauhîd diartikan meniadakan adanya penyerupaan pada Zat Allah, sifat-sifatNya dan perbuatannya, meniadakan sekutu dari rububiyyah Allah  dan ubudiyyahNya. Dari definisi ini muncul 3 macam tauhîd :  (1) Tauhîd zât, asmâ wa sifât artinya meyakini dan  beriman  akan adanya zat Allah, nama-namaNya, sifat sifatNya. (2) Tauhîd Rubûbiyyah artinya meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta, memberi rizki dan yang mengaturnya. (3) Tauhîd ulûhiyyah artinya meyakini bahwa hanya Allahlah yang berhak dan wajib diibadahi, dicintai, ditakuti dan diharapkan.  Baca Abû Bakr Jâbir al-Jazâirî,  Aqîdah al-Mu’min (ttp:Dâr al-Fikr, tt), h.64, 66 dan 77.

16. dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
 Qs. Al-Qalam: 4

 
"dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung".
  Didin Hafidhuddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas Mencari alternatif Pemikiran di Tengah Absurditas Modernisme (Banten: LPSI, 2004), h. 118-119.
  Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî”ah wa al-Manhaj (Dimasq: Dậr al-Fikri, 1998), juz 1, h. 54.
5 http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisas
  QS.1:2 . Allah berfirman:“ الحمد لله رب العالمين ” (“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”).
  QS.1:5 . Allah berfirman:“ إياك نعبد و إياك نستعين”  (“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”).
  QS.1:1 . Allah berfirman: “بسم الله الرحمن الرحيم ” (“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”).
  QS. 1: 5. Allah berfirman: “ما لك يوم الد ين    “ (“ yang menguasai hari pembalasan”)
  QS.1:6 . Allah berfirman: “اهدناالصراط المستقيم ” (“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”).
  QS.1:6 Allah berfirman: “صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين” (“jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat kepada  mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”).
  Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Juz 1. h. 34-36.
  Said Hawa, al-Asâs fî al-Tafsîr, al-mujallad al-Awwal (Qohirah: Dâr al-Salâm, 1999), jilid 1, h. 38.
  Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî”ah wa al-Manhaj (Dimasq: Dậr al-Fikri, 1998), juz 1, h.
  Heru SS, Mapping Strategi Sukses Hakiki (Sukoharjo: AD Media Sukoharjo, 2007), h. 11
  Pendidikan “merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien”.Baca Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 3.
 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS, 1994), h. 14-15.
  Qs. 112: 1-4. Artinya:(1). Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (2). “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (3). “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,” (4). “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
  Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr,(Bairût: Dâr al-Fikr, tt) jilid 1, hal. 19
  Tahmîd artinya membaca الحمد لله (segala puji bagi Allah).
  Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 19-20.
  M.Amin aziz, the Power of  Al-Fatihah (Jakarta: Pinbuk Preess, 2008), hal. 28-29.
  Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 21.
  M.Amin aziz, the Power of  Al-Fatihah, hal. 51.
  Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 19-20.
  M.Amin aziz, the Power of  Al-Fatihah (Jakarta: Pinbuk Preess, 2008), hal. 28-29.
  Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 21.
  M.Amin aziz, the Power of  Al-Fatihah, hal. 51.

5. hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].

sumber : http://www.stail.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=165:surah-al-fatihah-dalam-perspetif-pendidikan-anak-berbasis-tauhid&catid=44:jurnal-ilmiah&Itemid=95

No Response to "Surah al-Fâtihah dalam Perspektif Pendidikan Akhlak Berbasis Tauhîd"

Posting Komentar